Selasa, 02 Juni 2009

Peran Kader Hmi Dalam Mewujudkan Kebangkitan Nasional


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemuda memang harapan bangsa. Apalagi, jika ditilik lebih jauh ke belakang, Kebangkitan Nasional pun sebenarnya juga dipelopori oleh generasi muda, yang kala itu tergabung melalui organisasi Boedi Oetomo. Kini, 100 tahun pasca Kebangkitan Nasional dan 80 tahun Sumpah Pemuda, patut dipertanyakan apa peran para pemuda kali ini

Reformasi tahun 1998 bisa dikatakan sebagai salah satu simbolisasi gerakan pemuda demi kebangkitan bangsa. Sayangnya, tak banyak perubahan yang terjadi pascakrisis moneter yang melanda beberapa bangsa di dunia. Saat negara lain-termasuk negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand-telah kembali pulih, bangsa ini sepertinya tak kunjung menemui jalan terang. Kalaupun ada sejumlah hal yang mengalami peningkatan, seperti pemberantasan korupsi atau menurunnya angka kemiskinan, hal itu belumlah terlalu signifikan dampaknya bagi kebangkitan bangsa. Lantas, apa sebenarnya yang membuat bangsa kita seolah tak segera mampu bangkit seperti bangsa lainnya.

Sikap malas merupakan salah satu bentuk kemiskinan mental yang akan membuat kita terpuruk dalam jurang ketakberdayaan. Sebaliknya, sikap rajin akan mempercepat langkah untuk segera bangkit dari keterpurukan. Dan ini dibuktikan oleh beberapa negara yang sudah bangkit dari krisis seperti Korea Selatan. Di negeri ginseng itu budaya kerjanya sudah sangat cepat, teratur, disiplin, dan jauh dari kesan pemalas.

Dalam perjalanan politiknya, rasanya kita tidak pernah menemukan satu catatan, bahwa gerakan pemuda adalah gerakan pilihan politik secara praktis. Ia lebih merepresentasikan gerakan moral, yang menjadi polisi dalam mengawal cita – cita kebangsaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memenuhi kesejahteraan masyarakat.

Betapa pun kita menyadari tantangan pemuda dan mahasiswa saat ini berbeda dengan mahasiswa dalam dinamika reformasi '98 karena perubahan zaman dan cara pandang para aktifisnya. Pemuda Mahasiswa pasca '98 relatif pragmatis rasional dalam memandang situasi, sehingga ideologisasi dan agitasi bukan hal mudah bagi pemimpin pergerakan saat ini. Belum adanya momentum sebesar reformasi '98 yang menyatukan common agenda mahasiswa dan rakyat ditambah masing-masing kelompok masyarakat sudah mampu mengadvokasi kepentingannya sendiri-sendiri, membuat gerakan mahasiswa kehilangan format gerakan dan daya jelajahnya.

Terabaikannya peran pemuda dan mahasiswa dalam dinamika kebangsaan, dan pelemahan secara sistematis gerakan mahasiswa memungkinkan daya kritis dan keberdayaan pemuda semakin memudar. Semakin terpolarisasinya berbagai kekuatan politik, diikuti pula polarisasi gerakan mahasiswa. Masing-masing elemen gerakan punya agenda sektoral sendiri, belum ada common sense dan common interest menuju titik utama pembaharuan. Pemuda mahasiswa saat ini bisa bergerak karena tekanan yang sangat kuat dari keadaan rakyat dan realitas sosial yang mencengangkan, seperti kemiskinan, krisis pangan, kenaikan harga sembako, kejahatan perbankan dan seribu satu tragedi kemanusiaan yang nyata setiap harinya.

Perubahan paradigma pemuda memandang diri dan bangsanya mutlak menjadi agenda awal sebelum terjun dalam kancah perjuangan memimpin perubahan. Pemuda mahasiswa harus mengembalikan kepercayaan rakyat dengan berbagai aksi advokasi kerakyatan dengan mengesampingkan perbedaan ideologi dan kepentingan kelompok. Pemuda juga harus mampu menempatkan diri sebagai subjek bukan objek perubahan, selanjutnya pemuda jangan terjebak dalam subordinasi siapapun selain kepentingan rakyat dan bangsa, agar lebih leluasa menentukan arah perjuangan yang direncanakan. Selain kesadaran akan peran sebagai salah satu pilar Governance (Civil Society), pemuda dan mahasiswa perlu memperkuat modal sosial dan politiknya untuk mengakselerasi perubahan. Peran Institusionalisasi organisasi semakin penting di dunia yang terbuka dibanding 'underground culture' serta perlunya merencanakan dan menciptakan momentum sekaligus menyediakan solusi strategis bagi transisi pasca momentum.

Bila gerakan pemuda dan mahasiswa telah menganalisa situasi kebangsaan, mengukur keberdayaannya dan menyiapkan agenda strategis bagi perbaikan negeri. Maka momentum terbuka lebar dan memberi kepercayaan serta tempat terhormat bagi pemuda mahasiswa menjadi pelakon sejarah kebangkitan nasional kedua ini. 101 tahun kebangkitan nasional dan 11 tahun reformasi adalah sejarah bangsa yang melibatkan banyak pergerakan, mereka adalah sebagian besarnya pemuda yang memiliki semangat kebangsaan sekaligus komitmen keummatan yang tinggi. Pemuda saat ini tentu ingin menuliskan sejarahnya sendiri.

Pemuda Indonesia saat ini membutuhkan ide dan semangat besar untuk memimpin kebangkitan negeri. Sejarah mengajarkan, kaum intelektual menengah adalah inisiator perjuangan kemerdekaan dan pembangun bangsa. Para Founding Fathers adalah mereka yang selalu berpikir besar dengan gagasan yang orisinil dan pesan akan pentingnya semangat kejuangan membela dan mempertahankan kemerdekaan.

Kita harus membangun kebersamaan dan mengumpulkan gagasan kebangkitan dalam idealita dan agenda bersama (common agenda). Inisiatif sekelompok kreatif yang menggelindingkan gagasan hingga membesar mesti menjadi pekerjaan sehari-hari para aktifis pergerakan. Jika snowball gagasan terakumulasi, akan tercipta ruang aktivisme yang nyata di lapangan, sehingga seluruh komponen bangsa bersatu terkonvergensi menuju titik yang sama.

B. Rumusan Dan Batasan Masalah

Dengan landasan masalah di atas, maka penulis merumuskan pembahasan dalam makalah ini yaitu apa yang harus dilakukan oleh kader HMI untuk mewujudkan kebangkitan nasional kedua. Dalam makalah ini penulis mersa perlu untuk membatasi maslah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :

1. Kondisi umat dan bangsa hari ini

2. Peran kader HMI dalam mewujudkan Kebangkitan Nasional kedua

C. Tuiuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk

1. Memenuhi salah satu syarat mengikuti LK II HMI cabang Padang

2. Membangun kembali cakrawala berpikir dan tradisi intelektual kader HMI.

3. Menyumbangkan gagasan untuk masa depan HMI


BAB II

PERRAN KADER HMI DALAM MEWUJUDKAN KEBANGKITAN NASIONAL KEDUA

A. Mahasiswa Sebagai Bagian Dari Pemuda

Generasi muda sekarang bertugas mengisi kemerdekaan yang telah direbut oleh angkatan 45 dengan begitu banyak pengorbanan. Tugas da tantanagan pemuda adalah melenyapkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan di dalam segala bidang kehidupan serta mewujudkan masyarakat adil dan makmur. (Sagimun, 1989; 357)

Mahasiswa adalah kelompok yang tepat untuk menjadi ujung tombak karena ada empat faktor yang dimiliki mahasiswa tersebut, yaitu muda, sehat badan, sehat ekonomi, dan pengetahuan yang cukup. Ditambah lagi stratifikasi sosial mahasiswa di indonesia sebgai orang-orang pilihan dari semua pilihan, apalagi di tempat-tempat unggulan. (Nurcholis Madjid, 1998; 304)

Arbi Sanit sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Rusli Karim menyebutkan bahwa mahasiswa adalah kekuatan potensial karena beberapa hal. Pertama, mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga mempunyai horizon yang lebih luas untuk bergerak dalam atau di antara lapisan masyarakat. Kedua, mahasiswa merupakan kelompok yang paling lama menduduki bangku pendidikan—sekolah sampai perguruan tinggi—sehingga telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Dengan demikian, mahasiswa mempunyai pengatahuan yang relatif baik dibandingkan dengan kelompok lain. Ketiga, kehidupan kampus mementuk gaya yang unik di kalangan mahasiswa. Di kampus, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa, dan agama menjalin interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, maka perguruan tinggi telah mengkristal sebagai basis pembentukan akulturasi sosial dan budaya di kalangan angkatan muda. Keempat, mahasiswa merupakan kalangan “elit” di kalangan angkatan muda karena mewakili kelompok yang bakal memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian, dan prestise dalam masyarakat. Kelima, meningkatnya kepemimpinan di kalangan angkatan muda tidak terlepas dari perubahan orientasi masyarakat. (M Rusli Karim, 1997; 92)

B. Kondisi Umat Dan Bangsa

Berbicara tentang HMI, maka kita akan melihat kepada eksistensi suatu kelompok sosial yang merupakan kesatuan dari mahasiswa yang teroganisir denagn mencantumkan islam sebagi predikatnya, eksistensi HMI sebagai kelompok sosial adalah merupakan manifestasi dari konfigurasi sosial budaya masyarakat indonesia.(Ridwan Saidi, 1984; 123)

Islam secara transcenden dan imanen adalah sebagai pedoman dan pandangan hidup secara menyeluruh bagi umat manusia. Nilai-nilai Islam yang dijadikan pedoman dan pandangan hidup tersebut, dipahami sebagai rahmat Allah SWT, bukan saja untuk golongan umat yang mengaku muslim, tetapi juga diperuntukkan bagi seluruh manusia.

Setiap makhluk di alam semesta, termasuk manusia, secara fithrah memiliki kecenderungan pada nilai-nilai suci yang terkandung di dalam dienul Islam. Dengan demikian tugas seorang muslim selaku khalifah Allah di dunia adalah mengikuti petunjuk suci dinul Islam dan berkewajiban mengimplementasikannya dalam bentuk perjuangan untuk membangun peradaban Islam sesuai dengan kehendak Illahi.

Namun demikian, seiring dengan terjadinya perkembangan sains dan teknologi dalam skala mundial, dunia Islam dewasa ini tengah menghadapi berbagai perubahan nilai kemanusiaan dan ideologi sosial. Karena itu, yang diperlukan sebenarnya adalah dialektika dalam kesejajaran dan saling menghargai atas dasar persamaan derajat persaudaraan. Namun demikian, kadangkala yang terjadi justru sebaliknya, yaitu adanya kecenderungan berkembangnya sikap arogansi rasial dari kelompok bangsa tertentu yang memiliki kekuatan (power) untuk menguasai atau mendominasi bangsa yang lain yang dipandang lemah. Kebetulan negara-negara yang mayoritas berpopulasi muslim, saat ini telah menjadi sasaran bentuk-bentuk penindasan dan kebiadaban baru dengan tujuan pemaksaan terhadap suatu nilai atau cara pandang tertentu. Implikasi lebih jauh dari kondisi ini adalah semakin banyaknya pelanggaran hak-hak asasi manusia, disorientasi sosial, degradasi moral dan serta teralienasinya manusia dari nilai-nilai kebenaran. Pandangan Islam yang holistik terhadap nilai-nilai dan ideologi sosial masyarakat dunia, senantiasa bertentangan dengan ideologi sosial Barat yang selama ini memposisikan Islam sebagai rival.

Sementara itu, umat Islam sendiri sampai sejauh ini juga masih mengalami banyak permasalahan internal, seperti rendahnya kualitas sumber daya umat, lemahnya penguasaan sains dan teknologi, terbatasnya jaringan informasi dan sebagainya. Di samping itu, umat Islam juga masih dilanda krisis kepribadian dan dibayangi oleh inferioritas budaya serta eksistensi diri. Akibatnya, umat Islam belum mampu mengantisipasi berbagai problem kemanusiaan global maupun sektoral, apalagi diharapkan mampu membuat rekayasa sosial (social engineering) bagi berkembangnya peradaban kemanusiaan yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Indonesia sendiri adalah bangsa yang paling sedikit mengalami ”arabisasi”. Di indonesia islam tidak mengantikan –agama-agama sebelumnya melalui kekuatan militer, namun dilakukan melalui penetrasi damai (penetration paciufique) terutama hubungan dagang dan pernikahan. Karena itu perkembanagan kebudayaan islam di indonesia sebagian besar merupakan hasil dialog antara nilai-nilai universal islam dengan ciri-ciri kultural kerukanan nusantara. (Nurcholis Madjid dalam Mark R. Woodword, 1996; 94)

Keterbelakangan Ummat dan Bangsa adalah kenyataan yang dapat kita lihat pada semakin tinggginya angka pengangguran, angka kemiskinan dan angka kelaparan akibat ketidakmampuan anak bangsa dalam mempercepat agenda kesejahteraan bangsanya. Memburuknya tingkat kesejahteraan bangsa dapat kita lihat dari semakin rendahnya angka pembangunan manusia Indonesia, dan masih rendahnya jaminan sosial-keamanan bagi seluruh warga negara Indonesia. Ditengah kondisi keterbelakangan bangsa yang ada, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan penjarahan uang rakyat melalui skema korupsi yang semakin menunjukkan peningkatan intensitasnya beberapa waktu belakangan ini. Akibatnya anggaran kita mengalami kekurangan permanen tidak mampu memberi stimulus bagi bergeraknya roda ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena ketidakmampuan dalam memenuhi ketersediaan anggaran, maka pencabutan subsidi dilakukan dan dipaksa mengobral murah aset-aset bangsa sehingga sebagian besar aset di negeri ini bukan lagi milik kita tapi telah dikuasai bangsa lain. Karena anggarannya selalu defisit, maka tidak ada pilihan lain ‘katanya’ selain terpaksa berutang kepada bangsa lain, walaupun utang itu tidak terlalu bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan utang tidak diberikan secara percuma, bahwa dibalik utang selalu ada kepentingan politis bangsa lain, karenanya kebijakan bangsa dapat diintervensi oleh bangsa lain. Artinya bangsa kita adalah bangsa yang terbelakang, bangsa yang miskin, bangsa yang masih terjajah oleh bangsa lain. Pun, demikian dampak sosialnya, bagi Indonesia dan seluruh wilayahnya.

C. Peran Kader Hmi Dalam Mewujudkan Kebangkitan Nasional

Jalaluddin rahmat memberikan defenisi kebangkitan bahwa kebangkitan itu diukur sejauh mana kita berhasilkan mengaktualkan potensi kita. Kebangkitan itu bukanlah tumbuhnya kesadaran beragama yang lebih tuntas atau tampaknya syiar-syiar agama yang bersifat ritual atau memperoleh kekuasaan politik atau ekonomi. (Jalaluddin Rahmat, 1991; 303)

HMI adalah organisasi besar, organisasi tertua di Indonesia, kaya pengalaman, pencetak para raksasa intelektual, banyak anggota dan alumni dan sebagainya. pandangan-pandangan semacam ini seharusnya senantiasa dikritisi jikalau tidak menghendakinya menjadi sekedar mitos. Mitos berarti suatu bentuk kepercayaan berlebihan tetapi kosong tanpa isi. Hal itu hendaknya dimaknai bersama oleh seluruh kader yang mengaku HMI sebagai upaya agar HMI dapat merenungkan kembali arah dan orientasinya dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer dewasa ini. Untuk itu, HMI harus terlebih dahulu mengetahui dimana posisinya saat ini. Bahwa tanpa menyadari posisi HMI sekarang lewat refleksi sosiologis historis maka HMI hanya akan mengalami kegagalan dalam melihat kenyataan yang ada. HMI harus mampu mendeskripsikan lagi perjalanan organisasinya untuk dapat meningkatkan keunggulan komparatif sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya sekaligus eksis di tengah-tengah gerakan-gerakan sosial masyarakat yang sangat akseleratif. HMI telah dihujani berbagai macam kritikan mengenai sejauhmana peran eksistensinya saat ini di tengah zaman yang terus bergulir. Kritikan itu setidaknya penulis maknai bermuara pada tiga hal, pertama, macetnya proses reproduksi intelektual, kedua, menurunnya kritisisme (sosial responsibility) dan ketiga, terjadinya krisis nilai (Islam) dalam praktek empirik beroganisasi HMI. Oleh karena itu, dalam konteks ini HMI harus berupaya keras untuk merebut kembali tradisi intelektualisme sebagaimana telah diawali oleh Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Djohan Effendy, dkk sebagai sesuatu yang fadhu dengan menggerakkan proses reproduksi intelektual berupa para kader dan pengurusnya harus berprestasi di kampus dengan studi tepat waktu dan menghidupkan kembali kajian-kajian ilmiah, kemudian dengan modal intelektual tersebut kader HMI harus mampu mengambil peran populis di tengah-tengah dinamika kehidupan kemahasiswaan yang selama ini seakan hilang kekritisannya juga berperan dalam perubahan masyarakat dengan senantiasa memberikan manfaat serta berupaya memberikan kontribusi positif bagi memecahkan problematika keumatan yang ada.

Kader-kader HMI dituntut untuk memiliki pendidikan setinggi-tingginya, berwawasan luas, berpikir rasional, kritis dan objektif sekaligus bertanggung jawab atas terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Sehingga HMI tidak hanya sekedar \"tidur\" dan bersemedi di kantor-kantornya akan tetapi HMI bersama rakyat membangun peradaban yang kuat. Selanjutnya, para kader HMI harus senantiasa menginternalisasi dan mengoperasionalisasi spirit nilai ajaran Islam dalam segenap praktek berorganisasinya

Menyaksikan kondisi ini, mau tidak mau HMI sebagai bagian dari anak Bangsa dituntut untuk membuktikan komitmennya terhadap perjuangan Ummat dan Bangsa, komitmennya terhadap perwujudan tatanan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Karena itu, Bangsa ini membutuhkan pembaharuan, pembaharuan kebijakan agar bangsa ini dapat keluar dari situasi keterbelakangan dan keterjajahan yang kita alami hari ini. HMI sebagai bagian integral dari umat pada umumnya dan gerakan mahasiswa khususnya, dituntut untuk melakukan upaya pemberdayaan sumber daya umat sebagai implementasi dari komitmen moral dan intelektualnya. Komitmen semacam itu merupakan keharusan untuk menghadapi tantangan yang demikian dahsyat. Untuk menyikapi dan menghadapinya, mensyaratkan adanya kader dengan citra diri paripurna, komitmen dan integritas yang mantap, sikap yang tegas, kemampuan intelektual, skill manajerial yang profesional, dan kepemimpinan yang tanggguh.
Perjuangan ini tentu saja perjuangan panjang dan membutuhkan manusia-manusia tangguh dan terorganisir rapih demi keberhasilan perjuangan. Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Disinilah letak pentingnya HMI sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader agar perjuangan kita berkelanjutan dan terorganisir baik sehingga targetnya dapat tercapai. Namun HMI bukanlah organisasi tanpa belitan masalah, berbagai persoalan internal dan eksternal turut membingkai dalam dinamika HMI. Karena itu perlu adanya rancangan kerangka gerak lanjutan untuk melakukan perubahan, pembaharuan dan pergerakan-perjuangan di HMI.

Kebutuhan saat ini adalah secara objektif, umat ini terbagi dalam kelas-kelas sosial dan kelas-kelas sosial itu mempunyai kepentingan fungsional masing-masing. Jadi kalau kita sudah berpikir untuk memulai gerakan poitik ekonomi atau katakanlah berpartisipasi dalam demokrasi, maka harus mulai menyadari bahwa kelompok-kelompom sosial mempunyai kepentingan real dan kita harus mengartikilasikan kepentingan mereka. Jangan hanya berpikiran subjektif-normatif tetapi harus mampu melihat secra objektif-empiris. (Kuntowijoyo, 1994; 203).

Donny Sofyan dalan artikelnya yang berjudul Perkembangan Gerakan-Organisasi Mahasiswa, Agenda ke Depan dan Parameter Ukuran Keberhasilan memberikan sebuah brainstorming, dan mencoba menyumbangkan sedikit gagasannya.

Pertama, sebagai faktor perekat bangsa guna mencegah kecenderungan disintegrasi dengan bekal “moral force” yang dimilikinya. Sebagai anasir fundamental dalam meneguhkan integritas bangsa. Dengan mengadopsi gagasan Dr. Marwah Daud Ibrahim, upaya ini dapat ditempuh dengan konsep SAKTI: Sinerji, bahwa tiap-tiap penggerak perubahan mesti merasa bahwa apa yang dilakukannya akan berlipat ganda hasilnya karena adanya integrasi dengan pihak lain; Akumulasi, bahwa betapapun kecilnya gerakan harus dihargai sebagai proses penyempurnaan perubahan itu sendiri; Konvergensi, bahwa meskipun berangkat pada muara yang berbeda tapi tetap bergerak menuju tujuan yang sama yaitu perubahan; Totalitas, bahwa sasaran gerakan hendaklah multidimensional; dan Inklusivitas, yakni adanya keinginan untuk melihat bahwa inisiator gerakan sebagai bagian dari kita, terlepas dari manapun oasisnya.

Kedua, membangun basis dan tradisi intektualitas. Perubahan dan rekayasa sosial (social engineering) mustahil tegak tanpa kokohnya basis dan tradisi intelektualitas. Ketika mahasiswa mengembangkan pemikirannya mereka tidak lantas merebut kavling dosen mereka. Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah bahwa dosen semakin tidak berani menembus frontier (tapal batas) cara berpikirnya sendiri ketika otak semakin dijejali oleh banyak pengetahuan dan teori serta banyaknya kepentingan-kepentingan pribadi yang harus diamankan. Dosen cenderung menjadi peragu. Ditambah lagi kebiasaan berpikir disipliner yang dengan ketat membatasi bidang persoalan dan perhatiannya. Kecuali jika ia adalah sejatinya intelektual dan atau pernah menjadi mahasiswa aktivis. Ada baiknya kita kaji lebih dalam uraian Jalal menyangkut definisi intelektual:

Tetapi James Mc. Gregor Burns, ketika bercerita tentang intellectual leadership sebagai transforming leadership berkata bahwa intelektual adalah a devotee of ideas, knowledge, values. Intelektual ialah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. “Dalam definisi ini, orang yang menggarap hanya gagasan-gagasan analitis adalah seorang teoritisi, orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif adalah seorang moralis, orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya adalah seorang intelektual” kata Burns. Jadi, intelektual adalah orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan analitis dan normatif. Di dalam bahasa Inggris, kata intelektual dikenakan kepada sejenis pribadi tersendiri yang telah mengalami kecerdasan dan kehalusan budi lewat pendidikan budaya. Orang boleh tinggi tingkat kesarjanaan dan sangat ahli di dalam lapangan pekerjaanya, tetapi selama ia tuidak punya minat atau kepekaan kepada rangsanganangsanganudaya, ia belum berhak dinamakan intelektual. “Di dalam masyarakat berbahasa Inggris, orang akan tercengang mendengar sebutan intellectual ditujukan kepada orang yang tidak menaruh perhatian kepada perkembangan budaya bangsanya” tulis sastrawan Subagio Sastrawardoyo. (Jalaluddin Rahmat, 1991; 303)

Bila kita tarik benang merah definisi-definisi di atas maka seorang ilmuan yang tidak pernah menarik perhatian kepada perkembangan masyarakatnya; hanya sibuk dengan tugasnya di kampus sebagai pengajar, peneliti dan petugas administratif; tidak terpanggil untuk menyebarkan dan menenangkan nilai-nilai luhur dalam setiap napas kampus; tidak tergerak mengadakan perubahan dalam kemandegan dalam tradisi intelektual masyarakat kampusnya; mereka yang hanya menjejali mahasiswanya dengan teori-teori yang positivistik, bebas nilai (free values) dan tak pernah memberikan catatan-catatan kaki terhadap pengetahuan yang tidak manusiawi dan jahat semisal kapitalisme dan developmentalisme; tidak pantas disebut sebagai intelektual. Karena itulah dosen tidak pernah menjadi kekuatan pendobrak (revolver) bila dibandingkan dengan mahasiswa yang seringkali mereka lecehkan di ruang kuliah.

Gerakan mahasiswa perlu mengaristeki kelahiran kembali tradisi ilmiah yang senantiasa bersikap mempertanyakan, memperdebatkan, mendiskusikan, dan meragukan demi menghampiri lapangan raksasa kebenaran. Namun, yang hadir nyatanya prilaku batin anti tradisi akademis yang berurat berakar, sikap para dosen dan guru besar yang anti didebat, tampilan muka merah di waktu diragukan pernyataannya, atau eksekusi dendam kepada mahasiswa yang kelewat kritis. Satu-satunya tradisi yang ditegakkan adalah tradisi menghapal, jangan membantah, jangan bertanya dan jangan menggugat.

Ketiga, memperluas wawasan makro menyangkut pelbagai persolan inti kenegaraan. Ini dapat dilakukan dengan memperluas pengetahuan teoritis kalangan gerakan mahasiswa dalam bidang ekonomi, bisnis, politik, dan keamanan. Tapi, pengetahuan teoritis ini harus disempurnakan dengan informasi yang luas dalam bidang-bidang tersebut, baik melalui sumber primer, seperti pelaku langsung, atau sumber sekunder, semisal media massa. Ini mengharuskan kalangan gerakan mahasiswa memiliki jaringan informasi dan komunikasi yang luas, mengharuskan mereka membaca lebih banyak, dan bergaul lebih luas.

Keempat, meningkatkan lebih lanjut keterlibatan bukan hanya dalam dunia politik-keamanan, tapi juga keagamaan, ekonomi, atau pendidikan. Keterlibatan ini dapat dilakukan di tingkat wacana publik, asistensi kepada pemerintah untuk pengambil keputusan atau perumus kebijakan publik lewat lembaga think tank, maupun sebagai pelaku langsung. Jadi tidak sekadar monolitik, yang selama ini kerap menjadi mascot gerakan mahasiswa, termasuk gerakan mahasiswa sendiri. Kita tidak mendengar, misalnya, mahasiswa berdemonstrasi karena perpustakaan-perpustakaan kampus mereka yang kekurangan buku, atau karena kualitas para pengajarnya yang buruk. Calon-calon intelektual itu tidak pernah merasa gundah dengan peringkat pendidikan kita yang dari tahun ke tahun—menurut beberapa survei internasional—terus terperosok ke bawah.

Kelima, meningkatkan kemampuan gerakan mahasiswa dalam mempengaruhi pihak lain. Dunia politik praktis adalah dunia jaringan, kerja sama, aliansi, dan koalisi. Jangan pernah membayangkan bahwa gerakan mahasiswa bakal mengelola dan melakukan apapun sendiri. gerakan mahasiswa hanya menjadi bagian dari sebuah koalisi besar dalam melakukan mega proyek perubahan. Jadi, yang perlu dilakukan ke depan adalah mengembangkan kemampuan mempengaruhi pihak lain, memperkuat jaringan lobi ke kalangan politisi, pengusaha, media massa, dan militer, serta membangun akses yang kuat ke para pengambil keputusan dan penentu kebijakan.

Keenam, memperbanyak figur publik ke dalam berbagai bidang. Para peminat, pengamat, atau aktor dalam berbagai bidang harus dimunculkan. Artinya, harus ada spesialisasi di kalangan gerakan mahasiswa. Sejumlah orang yang mempunyai kelebihan intelektual yang lebih besar dapat diplot menjadi generalis yang bisa terlibat secara ilmiah dalam banyak bidang. Tapi, sebagian besar anggota gerakan mahasiswa punya satu spesialisasi yang dengan itu mereka dikenal masyarakat.

Dalam pasal 9 AD ART HMI tentang peran HMI secara jelas disebutkan bahwa HMI bereperan sebagai organisasi perjuanagan.Dalam konteks ini, HMI sekarang harus berupaya keras merebut kembali tradisi intelektual yang pernah dimilikinya pada era 1960-an hingga awal 1970-an. Prinsip kembali ke kampus (back to campus) harus dipupuk melalui berbagai format aktivitas kemahasiswaan. Dalam hal ini orientasi kualitas harus dikedepankan daripada kuantitas.

Keberhasilan dalam perumusan kembali atau reorientasi tujuan jangka panjang organisasi HMI dapat terwujud jika HMI memiliki kemampuan dalam memahami, menguasai, dan mengarahkan potensi kekuatan yang selama ini pernah dimiliki HMI, yakni konsistensi-integralitas wawasan keislaman-kebangsaan, tradisi intelektual, dan independensinya. (Sidratahta Muchtar, 2006; 83)

Ciri gerakan intelektual yang dikembangkan HMI adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan, kejujuran dan keadilan, serta penghargaan atas perbedaan pendapat. Sehingga atas dasar itulah, sejak HMI dilahirkan di tanah air tercinta ini, sikap kritisnya terhadap persoalan kebangsaan, kemahasiswaan dan keislaman, menyatu dalam aktivitasnya sebagai komunitas intelektual (intelectual community). Penegasan HMI sebagai gerakan intelektual ini setidaknya juga tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang bertujuan, menjadikan kader (Islam) sebagai insan akademis dan pengabdi yang mendorong cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridho Allah SWT.

Tradisi intelektualitas HMI sudah dibuktikan lewat sejarahnya. Dalam lintasan sejarah pendirian HMI yang dipelopori oleh Lafran Pane (alm), diwarnai pro dan kontra. Sebagian kalangan berpendapat, pendirian HMI dituduh sebagai pemecah-belah mahasiswa, seperti dilontarkan oleh Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sebuah organisasi yang berdiri pada tahun 1946. Reaksi ini muncul karena PMY berbeda ideologis, yaitu berhaluan komunisme, sedangkan HMI, berhaluan Islam. Bahkan, setelah HMI berdiri (lebih kurang 14 bulan) reaksi yang sama juga dilontarkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang didirikan di Jakarta pada 2 Oktober 1945, dan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri di Yogyakarta 4 Mei 1947, yang menyatakan tak perlu mendirikan organisasi kemahasiswaan secara khusus, karena memecah belah mahasiswa.

Menghadapi reaksi tersebut, HMI melancarkan gerakan intelektual dengan mendatangkan penceramah untuk mendiskusikan tentang perlunya gagasan meningkatkan kesadaran ideologi, politik dan organisasi mahasiswa Islam. Tokoh yang diundang antara lain, Ismail Banda MA, Mr Ali Sastroamidjojo dan dosen-dosen Sekolah Tinggi Islam (embrio UII). Dari ceramah-ceramah tersebut, hasilnya disebarkan di kalangan mahasiswa dan masyarakat sehingga kemudian HMI dengan cepat populer di nusantara. Selanjutnya HMI pun mengembangkan sayapnya ke berbagai universitas, perguruan tinggi dan akademisi di seluruh nusantar.a Dalam perjalanannya pun, HMI terus-menerus mengembangkan sikap-sikap intelektualnya secara independen.

Tradisi perbedaan pendapat di kalangan HMI tentulah tak dapat dipisahkan dari pesan-pesan nilai-nilai ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sebagai pedoman dan tuntunan. Pedoman dalam perbedaan pendapat begitu sempurna dilukiskan al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Sebagaimana pesan Allah SWT dalam Surat An-Nahl ayat 125 bahwa , “ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (tegas dan benar) dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka (berdialog) dengan cara yang baik.” Seperti yang dilakukan HMI, dalam konteks perbedaan pendapat dengan pemimpin sekalipun, Al-Qur’an begitu indah memberi pesannya, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan pemimpin (ulil amri) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS .An-nisa: 59).

Nabi Muhammad SAW pun memberikan teladan, bahwa perbedaan pendapat di tengah umat adalah sesuatu rahmat (ikhtilaful ummati rahmatun). Maka, dalam konteks ini, HMI yang sejak awal lahir sebagai gerakan intelektual dan memiliki sejarah yang panjang, dalam konteks perkembangan keilmuan saat ini, penting kiranya untuk meluruskan kembali gerakan intelektual yang pernah digariskan. Ini penting untuk diperhatikan menyangkut orientasi gerakan HMI yang dibangun bukan pada kepentingan pragmatis tetapi lebih memperhatikan masa depan bangsa dan negara. Sehingga revitalisasi gerakan menyangkut berbagai hal: sosial, politik, ekonomi, budaya, agama dan berbagai aspek lain, menjadi sebagai satu referensi untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan kebijakan publik dan politik di sentra-sentra pemerintahan.

Untuk mencapai tujuan besar yang dicita-citakan organisasi HMI, barangkali perlu dikaji kembali lebih jauh kemungkinan HMI dapat memosisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan nonformal, tempat menempa anggotanya menjadi insan akademis yang berkualitas di tengah umat dan bangsanya.

Dengan demikian, program kegiatan HMI tidak lagi masif, yang penuh dengan seremonial. Sebab, posisinya akan menjadi inner power atau kekuatan intelektual umat Islam. Dengan kata lain, HMI akan menjadi semacam pusat unggulan (center of excellence) dan bukan hanya merupakan centerpiece (perhiasan di tengah meja).

Dengan orientasi keislaman dan kekuatan intelektual, maka secara operatif akan lahir kader HMI yang dinamis, terbuka, dan demokratis, serta hanya tunduk pada kebenaran dari mana pun datangnya. Di sisi lain, semangat untuk mengimplementasikan fungsi kekhalifahan mengharuskan HMI bersifat inklusif dengan tetap mempertegas independensi organisasi.

Independensi HMI yang selama ini telah teruji keberadaannya dan semboyan juangnya sebagai "pemersatu umat dan bangsa" jangan sampai kendur. Artinya, meski harus menyatu dan menjadi salah satu faktor dalam membangun dinamika umat dan bangsa, jati diri dan wawasan keumatan serta kebangsaannya tidak larut dan terseret ke dalam "sektarianisme" baru.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kondisi umat dan bangsa saat ini sangat memprihatinkan, denagn sejala bentuk ketimbangan dan kesembrawutan di mana-mana. Unmat islam tidak lagi memegang ukhuwah islamiyah dengan kuat sehingga perpecahan di kalangan umat islam sendiri.

Kondisi tersebut mengharuskan pemuda beekerja keras dan saling bahu mebahu sebagai tulang punggung bangsa untuk melakukan kebangkitan kedua sebagai mana yang dilakukan tempo dulu dengan berdirinya boedi oetomo dan lahirnya sumpah pemuda uintuk mengisi kemerdekaaan bangsa dan mempertahankan kedaulatan negara.

Kader HMI sebagai bagian dari pemuda harus mengambil peran penting dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai ortganisasi kader dan membangun kembali gerakan intelektual yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan serta tetap pada independensinya.

B. Saran

Kita sebagai kader HMI yang mengemban misi keumatan dan misi kebangsaan untuk kembali membangun tradisi HMI dengan gerakan intelektualnya, karena HMI adalah organisasi kader. Peran HMI sebagai organisasi perjuangan harus selalu kita laksanakan, berjuang buntuk membela kaum mustad’afin.


DAFTAR PUSTAKA

Karim,Muhammad Rusli. HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia. Mizan; Bandung. 1997

Kuntowijoyo. Paradigma Islam; Interprestasi untuk Aksi. Mizan; Bandung. 1994 Madjid, Nurcholis. Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai-Nilai dalam Wacana Sosial Politik Kotemporer. Paramadina; Jakarta. 1998

Muchtar, Sidratahta. HMI dan Kekuasaan. Prestasi Pustaka; Jakarta. 2006

Rahmat, Jalaluddin. Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim. Mizan; Badung. 1991

Saidi, Ridwan. Pemudsa Islam dalam Dinamika Politik Bangsa. CV. Rajawali; Jakarta. 1984

Sagimun. Peran Pemuda dari Sumpah Pemuda sampai Proklamasi. Bina Aksara; Jakarta. 1989

Woodword, Mark R (ed). Jalan Baru Islam. Mizan; Bandung. 1996

AD ART HMI hasil kongres XXV di Makasar Tahun 2006