Selasa, 10 November 2009

HARTA DAN KEPEMILIKANNYA DALAM ISLAM

A. Pendahuluan
Sudah sejak dahulu kala (ribuan tahun yang lalu) sampai zaman sekarang, manusia tidak bisa meninggalkan interaksi dengan harta/kekayaan (al-maal). Dalam ajaran Islam memiliki harta adalah hak setiap orang. Untuk mengatur pengelolaan harta agar mempunyai maslahat (manfaat) bagi orang lain maupun lingkungan sekitar, Islam memberikan beberapa aturan dan rambu-rambu yang tegas. Allah SWT menggambarkan kecintaan manusia terhadap harta dalam Q.S. Ali-Imran ayat 14: ”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak [unta, lembu, kambing dan biri-biri] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Realitas sifat manusiawi cinta pada harta sebenarnya juga terjadi pada diri nabi-nabi pada umumnya, ketika kita melihat praktek kehidupan; yang tentu dengan batasan dan arah yang dibenarkan oleh Allah. Kecintaan Nabi kepada isteri atau isteri-isterinya; pakaian, makanan, kuda, unta, dan lainnya yang tergolong paling bagus; juga menunjukkan realitas sifat manusiawi yang netral ini.
Dalam pengelolaan harta tersebut, Ekonomi Islam yang merupakan rahmatan lil alamin, kembali bangkit menorehkan Blue Print-nya. Keberadaannya sangat penting untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan kegagalan ekonomi konvensional. Bahkan, Ekonomi islam memiliki prinsip dan karakteristik yang berbeda dengan sistem sekuler yang menguasai dunia saat ini.
Sebenarnya, Ekonomi islam adalah bagian dari sistem islam yang bersifat umum yang berlandaskan pada prinsip pertengahan dan keseimbangan yang adil (tawadzun). Islam, menyeimbangkan kehidupan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat. Keseimbangan antara jasmani dan rohani, antara akal dan hati dan antara realita dan fakta merupakan keseimbangan yang ada dalam individu. Sedangkan dalam bidang ekonomi, islam menyeimbangkan antara modal dan aktivitas, antara produksi dan konsumsi, dan sebagainya.
Adapun nilai pertengahan dan keseimbangan yang terpenting, yang merupakan karya Islam dalam bidang ekonomi selain masalah harta adalah Hak Kepemilikan (Ownership Rights). Dalam memandang hak milik ini islam sangat moderat. Dan sangat bertolak belakang dengan sistem kapitalis yang menyewakan hak milik pribadi, sistem sosialis yang tidak mengakui hak milik individu.
Meskipun demikian, Masalah hak milik merupakan sebuah kata yang amat peka, dan bukan sesuatu yang amat khusus bagi seorang manusia. Oleh karena itu, Islam sangat mengakui adanya kepemilkan pribadi disamping kepemilikan umum. Dan menjadikan hak milik pribadi sebagai dasar bangunan ekonomi. Dan Itu pun akan terwujud apabila ia berjalan sesuai dengan aturan ALLAH swt, misalnya adalah memperoleh harta dengan jalan yang halal. Islam melarang keras kepemilikan atas harta yang digunakan untuk membuat kezaliman atau kerusakan di muka bumi.

B. HARTA
1. Pengertian Harta
Di dalam kamus Lisanul-’Arab karya Ibnu Manzur diterangkan bahwa kata مال (harta) berasal dari kata kerja موّ ل ، ملت ، تما ل ، ملت . Jadi, harta ما ل) ) didefinisikan sebagai "segala sesuatu yang dimiliki’. Berkata Sibawaihi, "Diantara bentuk imalah yang asing dalam bahasa Arab ialah مال)) (maal) yang bentuk jamaknya أموال (amwaal).
Dalam Mukhtar al-Qamus, kata al-maal berarti ’apa saja yang dimiliki’, kata tamawwalta (تموّلت) berarti ’harta kamu banyak karena orang lain’, dan kata multahu (ملته) berarti ’kamu memberikan uang pada seseorang’. Di dalam kamus al-Muhith dijelaskan bahwa maal itu ialah apa saja yang kamu miliki, sedangkan dalam Mu’jam al-Wasith, maal itu ialah segala sesuatu yang dimiliki seseorang atau kelompok, seperti perhiasan, barang dagangan, bangunan, uang, dan hewan.
Jadi pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia. Kata maal itu sendiri berakar dari kata dan frase: مول ، ملت ، لت تموّ ، تمو
Dalam alQuran, yang dimaksud dengan maal (harta) itu berbeda-beda sesuai dengan tempat di mana kata-kata itu disebutkan. Akan tetapi, makna maal (harta) secara umum ialah segala sesuatu yang disukai manusia, seperti hasil pertanian, perak atau emas, ternak, atau barang-barang lain yang termasuk perhiasan dunia. Adapun tujuan pokok dari harta itu ialah membantu untuk memakmurkan bumi dan mengabdi pada Allah.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa harta secara logawi berarti condong atau berpaling dari tengah ke salh satu sisi. Lebih lanjut, harta adalah segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi ataupun dalam bentuk manfaat.
Dari berbagai pendapat ulama, dapat disimpulkan tentang pengertian harta/hak milik:
1. sesuatu itu dapat diambil manfaat
2. sesuatu itu mempunyai nilai ekonomi
3. sesuatu itu secara ’uruf (adat yang benar) diakui sebagai hak milik
4. adanya perlindungan undang-undang yang mengaturnya.
2. Konsep Islam Tentang Harta
a. Harta adalah anugerah dari Allah yang harus disyukuri.
Tidak semua orang mendapatkan kepercayaan dari Allah swt. untuk memikul tanggung jawab amanah harta benda. Karenanya, ia harus disyukuri sebab jika mampu memikulnya, pahala yang amat besar menanti.
b. Harta adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan.
Setiap kondisi – entah baik ataupun buruk -- yang kita alami sudah menjadi ketentuan dari Allah swt, dan mesti kita hadapi secara baik sesuai dengan keinginan yang memberi amanah. Harta benda yang dititipkan kepada kita juga demikian. Di balik harta melimpah, ada tanggung jawab dan amanah yang mesti ditunaikan. Harta yang tidak dinafkahkan di jalan Allah akan menjadi kotor, karena telah bercampur bagian halal yang merupakan hak pemiliknya dengan bagian haram yang merupakan hak kaum fakir, miskin, dan orang-orang yang kekurangan lainnya
c. Harta adalah ujian.
Yang jadi ujian bukan hanya kemiskinan, tetapi kekayaan juga merupakan ujian. Persoalannya bukan pada kaya atau miskin, tetapi persoalannya adalah bagaimana menghadapinya. Kedua kondisi itu ada pada manusia, yang tujuannya dibalik itu cuma satu, yaitu Allah ingin mengetahui siapa yang terbaik amalannya. Bagi yang berharta, tentunya, ada kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan terhadap harta itu.
d. Harta adalah hiasan hidup yang harus diwaspadai.
Allah Swt. menciptakan bagi manusia banyak hiasan hidup. Keluarga, anak, dan harta benda adalah hiasan hidup. Dengannya, hidup menjadi indah. Namun, patut disadari bahwa pesona keindahan hidup itu sering menyilaukan hingga membutakan mata hati dan membuat manusia lupa kepada-Nya, serta lupa kepada tujuan awal penciptaan hiasan itu.
e. Harta adalah bekal beribadah.
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Karenanya, segenap perangkat duniawi, baik yang meteril maupun yang non materil, tercipta sebagai sarana yang bisa digunakan manusia untuk beribadah. Kekayaan adalah salah satu sarana ibadah. Ia bukan hanya menjadi ibadah kala dinafkahkan di jalan Allah, ia bahkan sudah bernilai ibadah kala manusia dengan ikhlas mencari nafkah untuk keluarganya dan selebihnya untuk kemaslahatan umat. Jika harta dipergunakan sebaik-baiknya, pahala yang amat besar menanti. Namun jika tidak, siksa Allah amatlah pedih .

C. HAK MILIK
1. Pengertian Hak Milik
Konsep Dasar kepemilikan dalam islam adalah firman Allah SWT “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki….”(Qs. Al-Baqarah : 284).
Para Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai ” kewenangan atas sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali dengan alasan syariah”.
Ibn Taimiyah mendefinisikan sebagai “ sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatannya. “ Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau menghibahkan, mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan yang produktif. Tetapi, sekali tempo, kekuatan itu tak lengkap karena hak dari sipemilik itu terbatas.
2. Konsep Islam tentang Hak milik
a. Semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah SWT
Menurut ajaran Islam, Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta. Allah lah yang memberikan manusia karunia dan rezeki yang tak terhitung jumlahnya.
b. Manusia dengan kepemilikannya adalah pemegang amanah dan khalifah
Semua kekayaan dan harta benda merupakan milik Allah, manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah atau pemberian dari Allah. Manusia menggunakan harta berdasarkan kedudukannya sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal. Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT.
c. Ikhtiyar dalam bentuk bekerja, bisnis dan usaha lain yang halal adalah merupakan ssarana untuk mencapai kepemilikan pribadi
Dalam Islam, kewajiban datang lebih dahulu, baru setelah itu adalah Hak. Setiap Individu, masyarakat dan negara memiliki kewajiban tertentu. Dan sebagai hasil dari pelaksanaan kewajiban tersebut, setiap orang akan memperoleh hak-hak tertentu. Islam sangat peduli dalam masalah hak dan kewajiban ini. Kita diharuskan untuk mencari harta kekayaan dengan cara ikhtiyar tetapi dengan jalan yang halal dan tidak menzalimi orang lain. Selain itu, Kita juga tidak dibiarkan bekerja keras membanting tulang untuk memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa balasan yang setimpal.
d. Dalam kepemilkan Pribadi ada hak-hak umum yang harus dipenuhi
Islam mengakui hak milik pribadi dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalan yang halal. Islam melarang setiap orang menzalimi dan merongrong hak milik orang lain dengan azab yang pedih, terlebih lagi kalau pemilik harta itu adalah kaum yang lemah, seperti anak yatim dan wanita .

D. Ayat-ayat yang Berhubungan dengan Harta dan Kepemilikannya
1. Al-Baqarah (2) : 155
Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

Ayat di atas menjelaskan tentang ujian dan cobaan yang akan diberikan Allah kepada manusia. Cobaan itu bisa dalam bentuk ketakutan (akan mati), kelaparan, kekuranagan harta, jiwa dan buah-buahan. Ayat ini membuktikan bahwa manusia itu diberi nikmat harta oleh Allah dan suatu saat akan menguji manusia dengan harta yang diberikan tersebut.
Harta adalah salah satu hal yang harus dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan dan melanjutkan kehidupan manusia. Dalam hal ini, Quraisy Shihab menjelaskan bahwa manusia harus berjuang karena hidup adalah pergulatan antar kebenaran dan kebatilan, pertentangabn antara kebaikan dan keburukan. Manusia harus mampu menghadapi setan dan pengikutnya. Tentu saja dalam pergulatan ini ada korban dalam bentuk harta, jiwa dan yang lain.
Kekurangan harta adalah salah satu bentuk mushibah. Al- maraghi menjelaskan bahwa wajib bagi orang mukmin untuk selalu mengingat Allah dan mensyukuri nikmatnya untuk mengurangi dan menghindari datangnya bala dan musibah.

2. Al-Baqarah (2) : 188
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.

Ayat ini turun berkenaan dengan Umru-ul Qais ibn ‘Abis dan ‘Abdan ibn Asywa al-Hadramani yang bertengkar dalam soal tanah. Umru-ul Qais berusaha mendaoatkan tanah itu agar menjadi miliknya dengan bersumpah di depan hakim. Ayat ini sebagi peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang lain dengan jalan bathil. (diriwayatkan oleh Ibnu Hatim yang bersumber dari Sa’id ibn Jubair)
Ayat di atas berbicara tentang cara mendapatkan dan mengeluarkan harta. Ayat ini melarang kita mendapatkan harta dengan cara yang salah (bathil). Al- maraghi mengatakan bahwa salah satu bentuk memakan harta secara batil adalah riba.
Dan sekaligus larangan untuk mempergunakan harta tersebut untuk hal-hal yang di larang oleh Allah (maksiat). Ini merupakan upaya Islam untuk tetap menjaga stabilitas kehidupan masyarakat agar selalu bermuamalah dengan cara yang terbaik.
Menyogok diibaratkan menurunkan timba kedalam sumur untuk memperoleh air. Timba yang turun tidak terlihat oleh orang lain yang tidak berad di dekat sumur. Penyogok menurunkan keinginannya kepada orang yang berwenang memutuskan sesuatu secara diam-diam.

3. Al-Baqarah (2) : 279
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.


Ayat di atas mengatur tentang tatacara transaksi muamalah yang sesuai dengan syaria’t islam. Salah satu larangan dalam islam adalah melakukan riba (mengambil kelebihan dari pokok harta). Dari redaksi ayat, dapat dipahami bahwa setelah praktek riba secara tegas telah diharamkan islam, namun tetap saja ada orang yang masih mengambil sisa dari riba yang telah dilarang tersebut. Ayat ini lebih mempertegas tentang keharaman praktek riba.
Ayat ini merupakan peringatan agar tidak mengambil lagi sisa harta riba, karena riba itu sudah dengan tegas dilarang oleh islam. Namun orang yang masih mengambil sisa harta tersebut berarti mereka telah memusuhi Allah, dan menurut al-Marahgi ketika itu mereka telah keluar dari syariat islam, tidak lagi tunduk pada hukum islam dan lari dari ajaran Allah dan Rasulnya.

4. Ali Imran (3) : 186
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.

Quraish Shihab menjelaskan ayat ini dengan mengatakan bahwa Demi Allah sungguh kamu semua, kapanpun dan dimana pun akan diperlakukan sebagi orang yang diuji menyangkut harta kamu baik berupa kekurangan, kehilangan atau dalam bentuk berzakat dan bersedekah
Ayat ini juga menjelaskan tentang posisi harta di satu segi merupakan cobaan dan ujian. Ujian itu selalu mebayang-bayangi manusia setiap saat. Orang yang punya banyak harta mempunyai rasa takut yanh lebih terhadap kehilangan harta yang telah mereka kumpulkan dari pada orang yang miskin.
Hal yang menarik adalah ungkapan Quraish Shihab bahwa kewajiban untuk membayar zakat dan sedekah merupakan salah satu bentuk ujian bagi orang yang berharta. Jika kita cermati, memang benar, hanya orang yang mempunyai iman yang tebal yang dengan ikhlas mengeluarkan sebagian harat mereka di jalan Allah. Membayar zakat adalah salah satu alat ukur, apakah harta yang dimiliki menurut mereka milik Allah atau memang mutlak milik pribadi sehingga tidak ada hak orang lain di dalamnya.

5. Al-Nisa’ (4) : 25
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat di atas terkait dengan suruhan kepada muslim laki-laki untuk menikah. Suruhan ini bersifat umum, tanpa terkecuali. Namun tak dapat dipungkiri bahwa untuk menikah membutuhkan persiapan yang matang secara fisik, psikis dan juga harta. Sehingga dalam suatu riwayat muncul perintah yang lebih khusus bahwa kewajiban menikah ditujuka kepada laki-laki yang sudah mampu.
Ayat ini merupakan solusi bagi laki-laki yang tetap ingin menikah tetapi mereka tidak sanggup dalam hal materi. Ketidak sanggupan mereka itu boleh jadi untuk membayarkan mas kawin, uang belanja dan biaya kehidupan setelah menikah . Solusi yang ditawarkan oleh islam adalah menikahi budak perempuan orang mukmin. Ini agar tetap menjaganya dari perzinaan.

6. Al-Anfal (8) : 28
Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.

Dalam tafsir al-Mishbah, quraisy Shihab menjelaskan kaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya, bahwa pengkhianatan terhadap amanah, biasa didorong oleh keinginan untuk memperoleh harta benda atau kecintaan pada anak. Ketahuilah harta maupun anak, banyak atau sedikit dijadikan Allah sebagai cobaan untuk menguji keteguhan dalam mensyukuri nikmat. Oleh sebab itu jangan sampai kamu melanggarnya sehingga mendapat siksaan, kalau bukan sekarang, sebentar lagi kan mendapat ganjaran dari allah.
Al-maraghi menjelaskan bahwa fitnah itu adalah cobaan dan ujian yang ditimpakan kepada seseorang dalam bentuk melaksanakan sesuatu atau meninggalkannya, menerima atau mengingkari sesuatu tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa harta adalah cobaan yang sangat berat.
Ayat ini menjelaskan bahwa harta disatu sisi merupakan cobaan dan ujian. Karena banyak orang yang melalaikan amanah yang diberikan untuk medapatkan harata yang lebih banyak dan karena kecintaan yang berlebihan terhadap anak.

7. Al-Taubah (9) : 24
Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam dalam hidup ini ada dua kepentingan yang selalu membayangi kehidupan manusia. Kepentingan akhirat (Allah) dan kepentingan dunia (termasuk harta, keturunan,dll). Selanjutnya ayat ini memberi peringatan terhadap orang yang selalu mendahulukan kepentingan dunia, bahwa jika mereka tetap begitu, maka keputusan (azab) Allah akan datang.
Namun tidak selalu kepentingan dunia dan kenikmatannya bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi dan ketika itu tidak ada salahnya jika keduanya digabungkan. Ancaman ayat di atas dituukan untuk situasi dimana harus ada pilihan untuk dua hal yang tidak dapat digabung.

8. Al-Taubah (9) : 41
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.

Dalam riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Hadirami, bahwa diantara kaum muslim mungkin terdapat orang-orang yang sakit atau lemah karena tua, sehingga merasa berdosa tidak ikut perang. Maka Allah menurunkan ayat ini yang memerintahkan berangkat perang, baik dengan perasaan tingan atau berat.
Ayat di atas melihat fungsi harta dari sisi lainnya. Bahwa ketika datang kewajiban untuk berjihad di jalam Allah, maka harta merupakan hal yang sangat penting dan dibutuhkan. Oleh sebab itu, orang yang mepunyai harta, mempunyai kesempatan yang lebih untuk berjihad dengan harta mereka. Dalam kata lain, seseorang bisa berjihad dengan harta.
Al-maraghi menjelaskan tentang kewajiban untuk berjihad melawan musuh-musuh islam dengan harta dan jiwa dan dengan apa yang bisa disumbangkan untuk menegakkan keadilan dan meninggikan kalimat haq.

9. Al-Taubah (9) : 111
Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ‘Abdullah ibn Rawalah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Apakah kewajiban-kewajiban terhadab Rabb dan diri tuan?’Rasulullah menjawab: “Aku telah menetapkan kewajiban terhadap Rabb-ku untuk beribadah kepada-Nya dan tidak meyekutukan-Nya, sedang kewajiban-kewajiban terhadapku ialah agar kalian menjagaku sebagaimana kalian menjaga diri dan harta kalian.”Mereka berkata:”Apabila kami melaksanakan itu, apakah bagian kami?”Beliau menjawab: “surga.”Mereka berkata:”Perdagangan yang sangat menguntungkan. Kami tidak akan membatalkannya dan tidak akan minta dibatalkan. Ayat ini turun berkenaan peristiwa tersebut yang menegaskan bahwa Allah akan mengganti kerugian harta dan jiwa kaum mukminin dengan surga. (Diriwayatkan oleh Ibn Jarir yang bersumber dari Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi)
Senada dengan ayat sebelumnya (41), ayat ini juga memaparkan tentang fungsi harta sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah khususnya dalam bentuk berjihad di jalan Allah (ketika seruan jihad itu datang). Hal bisa memotivasi seseorang untuk mengumpulkan harta, karena harta akan membawa seseorang lebih dekat kepada Allah (dalam konteks ini).
Lebih lanjut, Ayat ini menampilkan lukisan yang indah dan berkesan penerimaan Allah terhadap sumbanagan harta dan jiwa dilukiskan dengan pembelian Allah dan penjualnya adalah orang yang berkorban. Padahal yang mereka jual adalah milik Allah. Harga yang dibayarkan adalah surga, sungguh mahal .


10. Al-Taubah (9) : 116
Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. dia menghidupkan dan mematikan. dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagimu selain Allah.

Ayat ini menjelaskan tentang kekuasaan Allah, bahwa Allah menguasai apa yang ada di langit dan di bumi. Maka yang selain Allah adalah hamba-Nya. Dalam kekuasaan Allah hidup dan mati seseorang. Allah juga yang akan memberikan kemuliaan dan kehinaan kepada seseorang. Namun orang yang berjihad di ajalan Allah tetap akan mendapatkan kemuliaan dari Allah.
Ayat di atas berbicara tentang kepemilikan harta secara hakiki. Bahwa pada hakikatnya harta yang dimiliki seseorang yang merupakan bagian dari isi bumi ini adalah milik Allah. Bahkan orang yang memiliki harta tersebut (manusia) juga berada dalam kekuasaaan Allah (seperti hidup dan matinya).

11. Yunus (10) : 55-56
Ingatlah, Sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah, Sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui(nya).Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan Hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.

Quraisy Shihab menjelaskan ayat ini bahwa penganiayan lahir karena kebutuhan atau keinginan untuk mendapatkan lebih banyak harta. Allah tidak berbuat aniaya karena Daia yang memiliki apa yang di langit dan di bumi. Makhluk berhasil mewujudkan apa yang mereka inginkan kerena hukum sebab akibat menyetujui dan membantu mereka, namun tidak akan selalu begitu .
Inin sebagai sebuah perbandingan bagi kita tentang bagaimana kepemilikan Allah terhadap langit dan bumi dengan apa yang kita miliki yang merupakan bagian dari milik Allah tersebut. Allah tidak pernah berbuat aniaya, namun manusia sering berbuat aniaya untuk mendapatkan harta.

E. Kesimpulan
a. Secara hakiki, harta adalah milik Allah secara mutlak. Karena Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan di bumi.
b. Harta diberikan Allah adalah sebagai amanah yang harus dipelihara dan ada bagian untuk diberikan kepada orang lain dalam harta tersebut.
c. Harta juga sebagai cobaan dan ujian terhadap keteguhan umat dalam mensyukuri nikmat.
d. Harta dapat digunakan untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah.

F. Referensi
1. Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam .(PT Ichtiar Baru van Hoave. Jakarta; 1997) jil 2
2. Ahmad Mustafa Al-maraghi, Tafsir al-Maraghi (Maktab wa Mathbaq Musthafa al-Bab al-Hajji wa Auladuhu. Mesir ;1946) juz 2,3,9 dan 10
3. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari (Maktabah Syamilah) juz 14
4. KH. Q.Shaleh et.al. Asababun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Quran.(CV Diponegoro.Bandung; 2007)
5. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Lentera Hati, Jakarata; 2008). Vol. 1,2,5 dan 6
6. http://ariefsulfie.blog.friendster.com/2008/03/harta-dalam-islam
7. http://www.psq.or.id/artikel_detail.asp?mnid=39&id=337
8. http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11

Selasa, 02 Juni 2009

Peran Kader Hmi Dalam Mewujudkan Kebangkitan Nasional


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemuda memang harapan bangsa. Apalagi, jika ditilik lebih jauh ke belakang, Kebangkitan Nasional pun sebenarnya juga dipelopori oleh generasi muda, yang kala itu tergabung melalui organisasi Boedi Oetomo. Kini, 100 tahun pasca Kebangkitan Nasional dan 80 tahun Sumpah Pemuda, patut dipertanyakan apa peran para pemuda kali ini

Reformasi tahun 1998 bisa dikatakan sebagai salah satu simbolisasi gerakan pemuda demi kebangkitan bangsa. Sayangnya, tak banyak perubahan yang terjadi pascakrisis moneter yang melanda beberapa bangsa di dunia. Saat negara lain-termasuk negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand-telah kembali pulih, bangsa ini sepertinya tak kunjung menemui jalan terang. Kalaupun ada sejumlah hal yang mengalami peningkatan, seperti pemberantasan korupsi atau menurunnya angka kemiskinan, hal itu belumlah terlalu signifikan dampaknya bagi kebangkitan bangsa. Lantas, apa sebenarnya yang membuat bangsa kita seolah tak segera mampu bangkit seperti bangsa lainnya.

Sikap malas merupakan salah satu bentuk kemiskinan mental yang akan membuat kita terpuruk dalam jurang ketakberdayaan. Sebaliknya, sikap rajin akan mempercepat langkah untuk segera bangkit dari keterpurukan. Dan ini dibuktikan oleh beberapa negara yang sudah bangkit dari krisis seperti Korea Selatan. Di negeri ginseng itu budaya kerjanya sudah sangat cepat, teratur, disiplin, dan jauh dari kesan pemalas.

Dalam perjalanan politiknya, rasanya kita tidak pernah menemukan satu catatan, bahwa gerakan pemuda adalah gerakan pilihan politik secara praktis. Ia lebih merepresentasikan gerakan moral, yang menjadi polisi dalam mengawal cita – cita kebangsaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memenuhi kesejahteraan masyarakat.

Betapa pun kita menyadari tantangan pemuda dan mahasiswa saat ini berbeda dengan mahasiswa dalam dinamika reformasi '98 karena perubahan zaman dan cara pandang para aktifisnya. Pemuda Mahasiswa pasca '98 relatif pragmatis rasional dalam memandang situasi, sehingga ideologisasi dan agitasi bukan hal mudah bagi pemimpin pergerakan saat ini. Belum adanya momentum sebesar reformasi '98 yang menyatukan common agenda mahasiswa dan rakyat ditambah masing-masing kelompok masyarakat sudah mampu mengadvokasi kepentingannya sendiri-sendiri, membuat gerakan mahasiswa kehilangan format gerakan dan daya jelajahnya.

Terabaikannya peran pemuda dan mahasiswa dalam dinamika kebangsaan, dan pelemahan secara sistematis gerakan mahasiswa memungkinkan daya kritis dan keberdayaan pemuda semakin memudar. Semakin terpolarisasinya berbagai kekuatan politik, diikuti pula polarisasi gerakan mahasiswa. Masing-masing elemen gerakan punya agenda sektoral sendiri, belum ada common sense dan common interest menuju titik utama pembaharuan. Pemuda mahasiswa saat ini bisa bergerak karena tekanan yang sangat kuat dari keadaan rakyat dan realitas sosial yang mencengangkan, seperti kemiskinan, krisis pangan, kenaikan harga sembako, kejahatan perbankan dan seribu satu tragedi kemanusiaan yang nyata setiap harinya.

Perubahan paradigma pemuda memandang diri dan bangsanya mutlak menjadi agenda awal sebelum terjun dalam kancah perjuangan memimpin perubahan. Pemuda mahasiswa harus mengembalikan kepercayaan rakyat dengan berbagai aksi advokasi kerakyatan dengan mengesampingkan perbedaan ideologi dan kepentingan kelompok. Pemuda juga harus mampu menempatkan diri sebagai subjek bukan objek perubahan, selanjutnya pemuda jangan terjebak dalam subordinasi siapapun selain kepentingan rakyat dan bangsa, agar lebih leluasa menentukan arah perjuangan yang direncanakan. Selain kesadaran akan peran sebagai salah satu pilar Governance (Civil Society), pemuda dan mahasiswa perlu memperkuat modal sosial dan politiknya untuk mengakselerasi perubahan. Peran Institusionalisasi organisasi semakin penting di dunia yang terbuka dibanding 'underground culture' serta perlunya merencanakan dan menciptakan momentum sekaligus menyediakan solusi strategis bagi transisi pasca momentum.

Bila gerakan pemuda dan mahasiswa telah menganalisa situasi kebangsaan, mengukur keberdayaannya dan menyiapkan agenda strategis bagi perbaikan negeri. Maka momentum terbuka lebar dan memberi kepercayaan serta tempat terhormat bagi pemuda mahasiswa menjadi pelakon sejarah kebangkitan nasional kedua ini. 101 tahun kebangkitan nasional dan 11 tahun reformasi adalah sejarah bangsa yang melibatkan banyak pergerakan, mereka adalah sebagian besarnya pemuda yang memiliki semangat kebangsaan sekaligus komitmen keummatan yang tinggi. Pemuda saat ini tentu ingin menuliskan sejarahnya sendiri.

Pemuda Indonesia saat ini membutuhkan ide dan semangat besar untuk memimpin kebangkitan negeri. Sejarah mengajarkan, kaum intelektual menengah adalah inisiator perjuangan kemerdekaan dan pembangun bangsa. Para Founding Fathers adalah mereka yang selalu berpikir besar dengan gagasan yang orisinil dan pesan akan pentingnya semangat kejuangan membela dan mempertahankan kemerdekaan.

Kita harus membangun kebersamaan dan mengumpulkan gagasan kebangkitan dalam idealita dan agenda bersama (common agenda). Inisiatif sekelompok kreatif yang menggelindingkan gagasan hingga membesar mesti menjadi pekerjaan sehari-hari para aktifis pergerakan. Jika snowball gagasan terakumulasi, akan tercipta ruang aktivisme yang nyata di lapangan, sehingga seluruh komponen bangsa bersatu terkonvergensi menuju titik yang sama.

B. Rumusan Dan Batasan Masalah

Dengan landasan masalah di atas, maka penulis merumuskan pembahasan dalam makalah ini yaitu apa yang harus dilakukan oleh kader HMI untuk mewujudkan kebangkitan nasional kedua. Dalam makalah ini penulis mersa perlu untuk membatasi maslah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :

1. Kondisi umat dan bangsa hari ini

2. Peran kader HMI dalam mewujudkan Kebangkitan Nasional kedua

C. Tuiuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk

1. Memenuhi salah satu syarat mengikuti LK II HMI cabang Padang

2. Membangun kembali cakrawala berpikir dan tradisi intelektual kader HMI.

3. Menyumbangkan gagasan untuk masa depan HMI


BAB II

PERRAN KADER HMI DALAM MEWUJUDKAN KEBANGKITAN NASIONAL KEDUA

A. Mahasiswa Sebagai Bagian Dari Pemuda

Generasi muda sekarang bertugas mengisi kemerdekaan yang telah direbut oleh angkatan 45 dengan begitu banyak pengorbanan. Tugas da tantanagan pemuda adalah melenyapkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan di dalam segala bidang kehidupan serta mewujudkan masyarakat adil dan makmur. (Sagimun, 1989; 357)

Mahasiswa adalah kelompok yang tepat untuk menjadi ujung tombak karena ada empat faktor yang dimiliki mahasiswa tersebut, yaitu muda, sehat badan, sehat ekonomi, dan pengetahuan yang cukup. Ditambah lagi stratifikasi sosial mahasiswa di indonesia sebgai orang-orang pilihan dari semua pilihan, apalagi di tempat-tempat unggulan. (Nurcholis Madjid, 1998; 304)

Arbi Sanit sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Rusli Karim menyebutkan bahwa mahasiswa adalah kekuatan potensial karena beberapa hal. Pertama, mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga mempunyai horizon yang lebih luas untuk bergerak dalam atau di antara lapisan masyarakat. Kedua, mahasiswa merupakan kelompok yang paling lama menduduki bangku pendidikan—sekolah sampai perguruan tinggi—sehingga telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Dengan demikian, mahasiswa mempunyai pengatahuan yang relatif baik dibandingkan dengan kelompok lain. Ketiga, kehidupan kampus mementuk gaya yang unik di kalangan mahasiswa. Di kampus, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa, dan agama menjalin interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, maka perguruan tinggi telah mengkristal sebagai basis pembentukan akulturasi sosial dan budaya di kalangan angkatan muda. Keempat, mahasiswa merupakan kalangan “elit” di kalangan angkatan muda karena mewakili kelompok yang bakal memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian, dan prestise dalam masyarakat. Kelima, meningkatnya kepemimpinan di kalangan angkatan muda tidak terlepas dari perubahan orientasi masyarakat. (M Rusli Karim, 1997; 92)

B. Kondisi Umat Dan Bangsa

Berbicara tentang HMI, maka kita akan melihat kepada eksistensi suatu kelompok sosial yang merupakan kesatuan dari mahasiswa yang teroganisir denagn mencantumkan islam sebagi predikatnya, eksistensi HMI sebagai kelompok sosial adalah merupakan manifestasi dari konfigurasi sosial budaya masyarakat indonesia.(Ridwan Saidi, 1984; 123)

Islam secara transcenden dan imanen adalah sebagai pedoman dan pandangan hidup secara menyeluruh bagi umat manusia. Nilai-nilai Islam yang dijadikan pedoman dan pandangan hidup tersebut, dipahami sebagai rahmat Allah SWT, bukan saja untuk golongan umat yang mengaku muslim, tetapi juga diperuntukkan bagi seluruh manusia.

Setiap makhluk di alam semesta, termasuk manusia, secara fithrah memiliki kecenderungan pada nilai-nilai suci yang terkandung di dalam dienul Islam. Dengan demikian tugas seorang muslim selaku khalifah Allah di dunia adalah mengikuti petunjuk suci dinul Islam dan berkewajiban mengimplementasikannya dalam bentuk perjuangan untuk membangun peradaban Islam sesuai dengan kehendak Illahi.

Namun demikian, seiring dengan terjadinya perkembangan sains dan teknologi dalam skala mundial, dunia Islam dewasa ini tengah menghadapi berbagai perubahan nilai kemanusiaan dan ideologi sosial. Karena itu, yang diperlukan sebenarnya adalah dialektika dalam kesejajaran dan saling menghargai atas dasar persamaan derajat persaudaraan. Namun demikian, kadangkala yang terjadi justru sebaliknya, yaitu adanya kecenderungan berkembangnya sikap arogansi rasial dari kelompok bangsa tertentu yang memiliki kekuatan (power) untuk menguasai atau mendominasi bangsa yang lain yang dipandang lemah. Kebetulan negara-negara yang mayoritas berpopulasi muslim, saat ini telah menjadi sasaran bentuk-bentuk penindasan dan kebiadaban baru dengan tujuan pemaksaan terhadap suatu nilai atau cara pandang tertentu. Implikasi lebih jauh dari kondisi ini adalah semakin banyaknya pelanggaran hak-hak asasi manusia, disorientasi sosial, degradasi moral dan serta teralienasinya manusia dari nilai-nilai kebenaran. Pandangan Islam yang holistik terhadap nilai-nilai dan ideologi sosial masyarakat dunia, senantiasa bertentangan dengan ideologi sosial Barat yang selama ini memposisikan Islam sebagai rival.

Sementara itu, umat Islam sendiri sampai sejauh ini juga masih mengalami banyak permasalahan internal, seperti rendahnya kualitas sumber daya umat, lemahnya penguasaan sains dan teknologi, terbatasnya jaringan informasi dan sebagainya. Di samping itu, umat Islam juga masih dilanda krisis kepribadian dan dibayangi oleh inferioritas budaya serta eksistensi diri. Akibatnya, umat Islam belum mampu mengantisipasi berbagai problem kemanusiaan global maupun sektoral, apalagi diharapkan mampu membuat rekayasa sosial (social engineering) bagi berkembangnya peradaban kemanusiaan yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Indonesia sendiri adalah bangsa yang paling sedikit mengalami ”arabisasi”. Di indonesia islam tidak mengantikan –agama-agama sebelumnya melalui kekuatan militer, namun dilakukan melalui penetrasi damai (penetration paciufique) terutama hubungan dagang dan pernikahan. Karena itu perkembanagan kebudayaan islam di indonesia sebagian besar merupakan hasil dialog antara nilai-nilai universal islam dengan ciri-ciri kultural kerukanan nusantara. (Nurcholis Madjid dalam Mark R. Woodword, 1996; 94)

Keterbelakangan Ummat dan Bangsa adalah kenyataan yang dapat kita lihat pada semakin tinggginya angka pengangguran, angka kemiskinan dan angka kelaparan akibat ketidakmampuan anak bangsa dalam mempercepat agenda kesejahteraan bangsanya. Memburuknya tingkat kesejahteraan bangsa dapat kita lihat dari semakin rendahnya angka pembangunan manusia Indonesia, dan masih rendahnya jaminan sosial-keamanan bagi seluruh warga negara Indonesia. Ditengah kondisi keterbelakangan bangsa yang ada, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan penjarahan uang rakyat melalui skema korupsi yang semakin menunjukkan peningkatan intensitasnya beberapa waktu belakangan ini. Akibatnya anggaran kita mengalami kekurangan permanen tidak mampu memberi stimulus bagi bergeraknya roda ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena ketidakmampuan dalam memenuhi ketersediaan anggaran, maka pencabutan subsidi dilakukan dan dipaksa mengobral murah aset-aset bangsa sehingga sebagian besar aset di negeri ini bukan lagi milik kita tapi telah dikuasai bangsa lain. Karena anggarannya selalu defisit, maka tidak ada pilihan lain ‘katanya’ selain terpaksa berutang kepada bangsa lain, walaupun utang itu tidak terlalu bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan utang tidak diberikan secara percuma, bahwa dibalik utang selalu ada kepentingan politis bangsa lain, karenanya kebijakan bangsa dapat diintervensi oleh bangsa lain. Artinya bangsa kita adalah bangsa yang terbelakang, bangsa yang miskin, bangsa yang masih terjajah oleh bangsa lain. Pun, demikian dampak sosialnya, bagi Indonesia dan seluruh wilayahnya.

C. Peran Kader Hmi Dalam Mewujudkan Kebangkitan Nasional

Jalaluddin rahmat memberikan defenisi kebangkitan bahwa kebangkitan itu diukur sejauh mana kita berhasilkan mengaktualkan potensi kita. Kebangkitan itu bukanlah tumbuhnya kesadaran beragama yang lebih tuntas atau tampaknya syiar-syiar agama yang bersifat ritual atau memperoleh kekuasaan politik atau ekonomi. (Jalaluddin Rahmat, 1991; 303)

HMI adalah organisasi besar, organisasi tertua di Indonesia, kaya pengalaman, pencetak para raksasa intelektual, banyak anggota dan alumni dan sebagainya. pandangan-pandangan semacam ini seharusnya senantiasa dikritisi jikalau tidak menghendakinya menjadi sekedar mitos. Mitos berarti suatu bentuk kepercayaan berlebihan tetapi kosong tanpa isi. Hal itu hendaknya dimaknai bersama oleh seluruh kader yang mengaku HMI sebagai upaya agar HMI dapat merenungkan kembali arah dan orientasinya dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer dewasa ini. Untuk itu, HMI harus terlebih dahulu mengetahui dimana posisinya saat ini. Bahwa tanpa menyadari posisi HMI sekarang lewat refleksi sosiologis historis maka HMI hanya akan mengalami kegagalan dalam melihat kenyataan yang ada. HMI harus mampu mendeskripsikan lagi perjalanan organisasinya untuk dapat meningkatkan keunggulan komparatif sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya sekaligus eksis di tengah-tengah gerakan-gerakan sosial masyarakat yang sangat akseleratif. HMI telah dihujani berbagai macam kritikan mengenai sejauhmana peran eksistensinya saat ini di tengah zaman yang terus bergulir. Kritikan itu setidaknya penulis maknai bermuara pada tiga hal, pertama, macetnya proses reproduksi intelektual, kedua, menurunnya kritisisme (sosial responsibility) dan ketiga, terjadinya krisis nilai (Islam) dalam praktek empirik beroganisasi HMI. Oleh karena itu, dalam konteks ini HMI harus berupaya keras untuk merebut kembali tradisi intelektualisme sebagaimana telah diawali oleh Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Djohan Effendy, dkk sebagai sesuatu yang fadhu dengan menggerakkan proses reproduksi intelektual berupa para kader dan pengurusnya harus berprestasi di kampus dengan studi tepat waktu dan menghidupkan kembali kajian-kajian ilmiah, kemudian dengan modal intelektual tersebut kader HMI harus mampu mengambil peran populis di tengah-tengah dinamika kehidupan kemahasiswaan yang selama ini seakan hilang kekritisannya juga berperan dalam perubahan masyarakat dengan senantiasa memberikan manfaat serta berupaya memberikan kontribusi positif bagi memecahkan problematika keumatan yang ada.

Kader-kader HMI dituntut untuk memiliki pendidikan setinggi-tingginya, berwawasan luas, berpikir rasional, kritis dan objektif sekaligus bertanggung jawab atas terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Sehingga HMI tidak hanya sekedar \"tidur\" dan bersemedi di kantor-kantornya akan tetapi HMI bersama rakyat membangun peradaban yang kuat. Selanjutnya, para kader HMI harus senantiasa menginternalisasi dan mengoperasionalisasi spirit nilai ajaran Islam dalam segenap praktek berorganisasinya

Menyaksikan kondisi ini, mau tidak mau HMI sebagai bagian dari anak Bangsa dituntut untuk membuktikan komitmennya terhadap perjuangan Ummat dan Bangsa, komitmennya terhadap perwujudan tatanan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Karena itu, Bangsa ini membutuhkan pembaharuan, pembaharuan kebijakan agar bangsa ini dapat keluar dari situasi keterbelakangan dan keterjajahan yang kita alami hari ini. HMI sebagai bagian integral dari umat pada umumnya dan gerakan mahasiswa khususnya, dituntut untuk melakukan upaya pemberdayaan sumber daya umat sebagai implementasi dari komitmen moral dan intelektualnya. Komitmen semacam itu merupakan keharusan untuk menghadapi tantangan yang demikian dahsyat. Untuk menyikapi dan menghadapinya, mensyaratkan adanya kader dengan citra diri paripurna, komitmen dan integritas yang mantap, sikap yang tegas, kemampuan intelektual, skill manajerial yang profesional, dan kepemimpinan yang tanggguh.
Perjuangan ini tentu saja perjuangan panjang dan membutuhkan manusia-manusia tangguh dan terorganisir rapih demi keberhasilan perjuangan. Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Disinilah letak pentingnya HMI sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader agar perjuangan kita berkelanjutan dan terorganisir baik sehingga targetnya dapat tercapai. Namun HMI bukanlah organisasi tanpa belitan masalah, berbagai persoalan internal dan eksternal turut membingkai dalam dinamika HMI. Karena itu perlu adanya rancangan kerangka gerak lanjutan untuk melakukan perubahan, pembaharuan dan pergerakan-perjuangan di HMI.

Kebutuhan saat ini adalah secara objektif, umat ini terbagi dalam kelas-kelas sosial dan kelas-kelas sosial itu mempunyai kepentingan fungsional masing-masing. Jadi kalau kita sudah berpikir untuk memulai gerakan poitik ekonomi atau katakanlah berpartisipasi dalam demokrasi, maka harus mulai menyadari bahwa kelompok-kelompom sosial mempunyai kepentingan real dan kita harus mengartikilasikan kepentingan mereka. Jangan hanya berpikiran subjektif-normatif tetapi harus mampu melihat secra objektif-empiris. (Kuntowijoyo, 1994; 203).

Donny Sofyan dalan artikelnya yang berjudul Perkembangan Gerakan-Organisasi Mahasiswa, Agenda ke Depan dan Parameter Ukuran Keberhasilan memberikan sebuah brainstorming, dan mencoba menyumbangkan sedikit gagasannya.

Pertama, sebagai faktor perekat bangsa guna mencegah kecenderungan disintegrasi dengan bekal “moral force” yang dimilikinya. Sebagai anasir fundamental dalam meneguhkan integritas bangsa. Dengan mengadopsi gagasan Dr. Marwah Daud Ibrahim, upaya ini dapat ditempuh dengan konsep SAKTI: Sinerji, bahwa tiap-tiap penggerak perubahan mesti merasa bahwa apa yang dilakukannya akan berlipat ganda hasilnya karena adanya integrasi dengan pihak lain; Akumulasi, bahwa betapapun kecilnya gerakan harus dihargai sebagai proses penyempurnaan perubahan itu sendiri; Konvergensi, bahwa meskipun berangkat pada muara yang berbeda tapi tetap bergerak menuju tujuan yang sama yaitu perubahan; Totalitas, bahwa sasaran gerakan hendaklah multidimensional; dan Inklusivitas, yakni adanya keinginan untuk melihat bahwa inisiator gerakan sebagai bagian dari kita, terlepas dari manapun oasisnya.

Kedua, membangun basis dan tradisi intektualitas. Perubahan dan rekayasa sosial (social engineering) mustahil tegak tanpa kokohnya basis dan tradisi intelektualitas. Ketika mahasiswa mengembangkan pemikirannya mereka tidak lantas merebut kavling dosen mereka. Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah bahwa dosen semakin tidak berani menembus frontier (tapal batas) cara berpikirnya sendiri ketika otak semakin dijejali oleh banyak pengetahuan dan teori serta banyaknya kepentingan-kepentingan pribadi yang harus diamankan. Dosen cenderung menjadi peragu. Ditambah lagi kebiasaan berpikir disipliner yang dengan ketat membatasi bidang persoalan dan perhatiannya. Kecuali jika ia adalah sejatinya intelektual dan atau pernah menjadi mahasiswa aktivis. Ada baiknya kita kaji lebih dalam uraian Jalal menyangkut definisi intelektual:

Tetapi James Mc. Gregor Burns, ketika bercerita tentang intellectual leadership sebagai transforming leadership berkata bahwa intelektual adalah a devotee of ideas, knowledge, values. Intelektual ialah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. “Dalam definisi ini, orang yang menggarap hanya gagasan-gagasan analitis adalah seorang teoritisi, orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif adalah seorang moralis, orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya adalah seorang intelektual” kata Burns. Jadi, intelektual adalah orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan analitis dan normatif. Di dalam bahasa Inggris, kata intelektual dikenakan kepada sejenis pribadi tersendiri yang telah mengalami kecerdasan dan kehalusan budi lewat pendidikan budaya. Orang boleh tinggi tingkat kesarjanaan dan sangat ahli di dalam lapangan pekerjaanya, tetapi selama ia tuidak punya minat atau kepekaan kepada rangsanganangsanganudaya, ia belum berhak dinamakan intelektual. “Di dalam masyarakat berbahasa Inggris, orang akan tercengang mendengar sebutan intellectual ditujukan kepada orang yang tidak menaruh perhatian kepada perkembangan budaya bangsanya” tulis sastrawan Subagio Sastrawardoyo. (Jalaluddin Rahmat, 1991; 303)

Bila kita tarik benang merah definisi-definisi di atas maka seorang ilmuan yang tidak pernah menarik perhatian kepada perkembangan masyarakatnya; hanya sibuk dengan tugasnya di kampus sebagai pengajar, peneliti dan petugas administratif; tidak terpanggil untuk menyebarkan dan menenangkan nilai-nilai luhur dalam setiap napas kampus; tidak tergerak mengadakan perubahan dalam kemandegan dalam tradisi intelektual masyarakat kampusnya; mereka yang hanya menjejali mahasiswanya dengan teori-teori yang positivistik, bebas nilai (free values) dan tak pernah memberikan catatan-catatan kaki terhadap pengetahuan yang tidak manusiawi dan jahat semisal kapitalisme dan developmentalisme; tidak pantas disebut sebagai intelektual. Karena itulah dosen tidak pernah menjadi kekuatan pendobrak (revolver) bila dibandingkan dengan mahasiswa yang seringkali mereka lecehkan di ruang kuliah.

Gerakan mahasiswa perlu mengaristeki kelahiran kembali tradisi ilmiah yang senantiasa bersikap mempertanyakan, memperdebatkan, mendiskusikan, dan meragukan demi menghampiri lapangan raksasa kebenaran. Namun, yang hadir nyatanya prilaku batin anti tradisi akademis yang berurat berakar, sikap para dosen dan guru besar yang anti didebat, tampilan muka merah di waktu diragukan pernyataannya, atau eksekusi dendam kepada mahasiswa yang kelewat kritis. Satu-satunya tradisi yang ditegakkan adalah tradisi menghapal, jangan membantah, jangan bertanya dan jangan menggugat.

Ketiga, memperluas wawasan makro menyangkut pelbagai persolan inti kenegaraan. Ini dapat dilakukan dengan memperluas pengetahuan teoritis kalangan gerakan mahasiswa dalam bidang ekonomi, bisnis, politik, dan keamanan. Tapi, pengetahuan teoritis ini harus disempurnakan dengan informasi yang luas dalam bidang-bidang tersebut, baik melalui sumber primer, seperti pelaku langsung, atau sumber sekunder, semisal media massa. Ini mengharuskan kalangan gerakan mahasiswa memiliki jaringan informasi dan komunikasi yang luas, mengharuskan mereka membaca lebih banyak, dan bergaul lebih luas.

Keempat, meningkatkan lebih lanjut keterlibatan bukan hanya dalam dunia politik-keamanan, tapi juga keagamaan, ekonomi, atau pendidikan. Keterlibatan ini dapat dilakukan di tingkat wacana publik, asistensi kepada pemerintah untuk pengambil keputusan atau perumus kebijakan publik lewat lembaga think tank, maupun sebagai pelaku langsung. Jadi tidak sekadar monolitik, yang selama ini kerap menjadi mascot gerakan mahasiswa, termasuk gerakan mahasiswa sendiri. Kita tidak mendengar, misalnya, mahasiswa berdemonstrasi karena perpustakaan-perpustakaan kampus mereka yang kekurangan buku, atau karena kualitas para pengajarnya yang buruk. Calon-calon intelektual itu tidak pernah merasa gundah dengan peringkat pendidikan kita yang dari tahun ke tahun—menurut beberapa survei internasional—terus terperosok ke bawah.

Kelima, meningkatkan kemampuan gerakan mahasiswa dalam mempengaruhi pihak lain. Dunia politik praktis adalah dunia jaringan, kerja sama, aliansi, dan koalisi. Jangan pernah membayangkan bahwa gerakan mahasiswa bakal mengelola dan melakukan apapun sendiri. gerakan mahasiswa hanya menjadi bagian dari sebuah koalisi besar dalam melakukan mega proyek perubahan. Jadi, yang perlu dilakukan ke depan adalah mengembangkan kemampuan mempengaruhi pihak lain, memperkuat jaringan lobi ke kalangan politisi, pengusaha, media massa, dan militer, serta membangun akses yang kuat ke para pengambil keputusan dan penentu kebijakan.

Keenam, memperbanyak figur publik ke dalam berbagai bidang. Para peminat, pengamat, atau aktor dalam berbagai bidang harus dimunculkan. Artinya, harus ada spesialisasi di kalangan gerakan mahasiswa. Sejumlah orang yang mempunyai kelebihan intelektual yang lebih besar dapat diplot menjadi generalis yang bisa terlibat secara ilmiah dalam banyak bidang. Tapi, sebagian besar anggota gerakan mahasiswa punya satu spesialisasi yang dengan itu mereka dikenal masyarakat.

Dalam pasal 9 AD ART HMI tentang peran HMI secara jelas disebutkan bahwa HMI bereperan sebagai organisasi perjuanagan.Dalam konteks ini, HMI sekarang harus berupaya keras merebut kembali tradisi intelektual yang pernah dimilikinya pada era 1960-an hingga awal 1970-an. Prinsip kembali ke kampus (back to campus) harus dipupuk melalui berbagai format aktivitas kemahasiswaan. Dalam hal ini orientasi kualitas harus dikedepankan daripada kuantitas.

Keberhasilan dalam perumusan kembali atau reorientasi tujuan jangka panjang organisasi HMI dapat terwujud jika HMI memiliki kemampuan dalam memahami, menguasai, dan mengarahkan potensi kekuatan yang selama ini pernah dimiliki HMI, yakni konsistensi-integralitas wawasan keislaman-kebangsaan, tradisi intelektual, dan independensinya. (Sidratahta Muchtar, 2006; 83)

Ciri gerakan intelektual yang dikembangkan HMI adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan, kejujuran dan keadilan, serta penghargaan atas perbedaan pendapat. Sehingga atas dasar itulah, sejak HMI dilahirkan di tanah air tercinta ini, sikap kritisnya terhadap persoalan kebangsaan, kemahasiswaan dan keislaman, menyatu dalam aktivitasnya sebagai komunitas intelektual (intelectual community). Penegasan HMI sebagai gerakan intelektual ini setidaknya juga tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang bertujuan, menjadikan kader (Islam) sebagai insan akademis dan pengabdi yang mendorong cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridho Allah SWT.

Tradisi intelektualitas HMI sudah dibuktikan lewat sejarahnya. Dalam lintasan sejarah pendirian HMI yang dipelopori oleh Lafran Pane (alm), diwarnai pro dan kontra. Sebagian kalangan berpendapat, pendirian HMI dituduh sebagai pemecah-belah mahasiswa, seperti dilontarkan oleh Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sebuah organisasi yang berdiri pada tahun 1946. Reaksi ini muncul karena PMY berbeda ideologis, yaitu berhaluan komunisme, sedangkan HMI, berhaluan Islam. Bahkan, setelah HMI berdiri (lebih kurang 14 bulan) reaksi yang sama juga dilontarkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang didirikan di Jakarta pada 2 Oktober 1945, dan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri di Yogyakarta 4 Mei 1947, yang menyatakan tak perlu mendirikan organisasi kemahasiswaan secara khusus, karena memecah belah mahasiswa.

Menghadapi reaksi tersebut, HMI melancarkan gerakan intelektual dengan mendatangkan penceramah untuk mendiskusikan tentang perlunya gagasan meningkatkan kesadaran ideologi, politik dan organisasi mahasiswa Islam. Tokoh yang diundang antara lain, Ismail Banda MA, Mr Ali Sastroamidjojo dan dosen-dosen Sekolah Tinggi Islam (embrio UII). Dari ceramah-ceramah tersebut, hasilnya disebarkan di kalangan mahasiswa dan masyarakat sehingga kemudian HMI dengan cepat populer di nusantara. Selanjutnya HMI pun mengembangkan sayapnya ke berbagai universitas, perguruan tinggi dan akademisi di seluruh nusantar.a Dalam perjalanannya pun, HMI terus-menerus mengembangkan sikap-sikap intelektualnya secara independen.

Tradisi perbedaan pendapat di kalangan HMI tentulah tak dapat dipisahkan dari pesan-pesan nilai-nilai ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sebagai pedoman dan tuntunan. Pedoman dalam perbedaan pendapat begitu sempurna dilukiskan al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Sebagaimana pesan Allah SWT dalam Surat An-Nahl ayat 125 bahwa , “ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (tegas dan benar) dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka (berdialog) dengan cara yang baik.” Seperti yang dilakukan HMI, dalam konteks perbedaan pendapat dengan pemimpin sekalipun, Al-Qur’an begitu indah memberi pesannya, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan pemimpin (ulil amri) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS .An-nisa: 59).

Nabi Muhammad SAW pun memberikan teladan, bahwa perbedaan pendapat di tengah umat adalah sesuatu rahmat (ikhtilaful ummati rahmatun). Maka, dalam konteks ini, HMI yang sejak awal lahir sebagai gerakan intelektual dan memiliki sejarah yang panjang, dalam konteks perkembangan keilmuan saat ini, penting kiranya untuk meluruskan kembali gerakan intelektual yang pernah digariskan. Ini penting untuk diperhatikan menyangkut orientasi gerakan HMI yang dibangun bukan pada kepentingan pragmatis tetapi lebih memperhatikan masa depan bangsa dan negara. Sehingga revitalisasi gerakan menyangkut berbagai hal: sosial, politik, ekonomi, budaya, agama dan berbagai aspek lain, menjadi sebagai satu referensi untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan kebijakan publik dan politik di sentra-sentra pemerintahan.

Untuk mencapai tujuan besar yang dicita-citakan organisasi HMI, barangkali perlu dikaji kembali lebih jauh kemungkinan HMI dapat memosisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan nonformal, tempat menempa anggotanya menjadi insan akademis yang berkualitas di tengah umat dan bangsanya.

Dengan demikian, program kegiatan HMI tidak lagi masif, yang penuh dengan seremonial. Sebab, posisinya akan menjadi inner power atau kekuatan intelektual umat Islam. Dengan kata lain, HMI akan menjadi semacam pusat unggulan (center of excellence) dan bukan hanya merupakan centerpiece (perhiasan di tengah meja).

Dengan orientasi keislaman dan kekuatan intelektual, maka secara operatif akan lahir kader HMI yang dinamis, terbuka, dan demokratis, serta hanya tunduk pada kebenaran dari mana pun datangnya. Di sisi lain, semangat untuk mengimplementasikan fungsi kekhalifahan mengharuskan HMI bersifat inklusif dengan tetap mempertegas independensi organisasi.

Independensi HMI yang selama ini telah teruji keberadaannya dan semboyan juangnya sebagai "pemersatu umat dan bangsa" jangan sampai kendur. Artinya, meski harus menyatu dan menjadi salah satu faktor dalam membangun dinamika umat dan bangsa, jati diri dan wawasan keumatan serta kebangsaannya tidak larut dan terseret ke dalam "sektarianisme" baru.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kondisi umat dan bangsa saat ini sangat memprihatinkan, denagn sejala bentuk ketimbangan dan kesembrawutan di mana-mana. Unmat islam tidak lagi memegang ukhuwah islamiyah dengan kuat sehingga perpecahan di kalangan umat islam sendiri.

Kondisi tersebut mengharuskan pemuda beekerja keras dan saling bahu mebahu sebagai tulang punggung bangsa untuk melakukan kebangkitan kedua sebagai mana yang dilakukan tempo dulu dengan berdirinya boedi oetomo dan lahirnya sumpah pemuda uintuk mengisi kemerdekaaan bangsa dan mempertahankan kedaulatan negara.

Kader HMI sebagai bagian dari pemuda harus mengambil peran penting dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai ortganisasi kader dan membangun kembali gerakan intelektual yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan serta tetap pada independensinya.

B. Saran

Kita sebagai kader HMI yang mengemban misi keumatan dan misi kebangsaan untuk kembali membangun tradisi HMI dengan gerakan intelektualnya, karena HMI adalah organisasi kader. Peran HMI sebagai organisasi perjuangan harus selalu kita laksanakan, berjuang buntuk membela kaum mustad’afin.


DAFTAR PUSTAKA

Karim,Muhammad Rusli. HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia. Mizan; Bandung. 1997

Kuntowijoyo. Paradigma Islam; Interprestasi untuk Aksi. Mizan; Bandung. 1994 Madjid, Nurcholis. Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai-Nilai dalam Wacana Sosial Politik Kotemporer. Paramadina; Jakarta. 1998

Muchtar, Sidratahta. HMI dan Kekuasaan. Prestasi Pustaka; Jakarta. 2006

Rahmat, Jalaluddin. Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim. Mizan; Badung. 1991

Saidi, Ridwan. Pemudsa Islam dalam Dinamika Politik Bangsa. CV. Rajawali; Jakarta. 1984

Sagimun. Peran Pemuda dari Sumpah Pemuda sampai Proklamasi. Bina Aksara; Jakarta. 1989

Woodword, Mark R (ed). Jalan Baru Islam. Mizan; Bandung. 1996

AD ART HMI hasil kongres XXV di Makasar Tahun 2006



Selasa, 21 April 2009

Abu A’la Al- Maududi

Pendahuluan
Pada dasarnya perhatian dan gagasan akan perubahan dan kebangkitan Islam bukanlah suatu hal yang baru. Cara pencapaiannya yang melalui reformasi ataupun revolusi telah lama menjadi pokok perdebatan yang kontroversial. Di awal abad 11, Imam Ghazali telah menguaraikan pentingnya kebangkitan Islam di negara-negara Islam sekalipun. Al-Ghazali memandang bahwa pembaharuan adalah dengan memperbaharui tipe Islam yang dijunjung tinggi dan didakwahkan oleh sebagian ulama. Dengan demikian akan ditemukan kembali Islam yang murni dan otentik yang dapat mengubah umat yang pada akhirnya nanti akan mengubah elit penguasa. (http://artikeldaniklanbarisgratis.blogspot.com/2008/11/abul-ala-al-maududi-jamiat-islami-dan.html - _ftn1)
Hal seperti ini juga diharapkan oleh para perintis kebangkitan Islam dalam mendirikan suatu pimpinan Islam, namun yang terjadi banyak dari sebagian mereka hanya mengemukakannya dalam kerangka teoritis saja. Sehingga yang terjadi, apa yang mereka lakukan dapat dikatakan gagal. Karena itu, dari kegagalan-kegagalan para pemikir Islam modern dan klasik dalam mendirikan pimpinan Islam inilah muncul gerakan-gerakan baru, yang mengemukakan kebangkitan Islam tidak hanya secara teori saja tetapi juga dengan prakteknya, yang berkembang di Mesir dan India. Di mesir, muncul gerakan yang dipimpin oleh Hasan Al-Banna dengan nama Ikhwanul Muslimin dan di India muncul pula Jami’at al-Islami dibawah komando Al-Maududi.

Biografi Al-Maududi
Abu A’la al-Maududi dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 yang bertepatan dengan 25 September 1903 H di Aurangabad, kata yang terkenal di Kesultanan Hydarabad (Deccan), sekarang dikenal dengan Andhra Prades, India. Dari pihak ayah, al-Maududi merupakan keturunan Nabi Muhammad sehingga ia berhak mendapat kehormatan memakai nama “sayyid”. Ayah al-Maududi adalah Ahmad Hasan, lahir tahun 1885 M. al-Maududi wafat tahun 1983(Mukti Ali, 1998: 238).
Ahmad Hasan, ayahnya Maududi, sangat menyukai tasawuf. Ia berhasil menciptakan kondisi yang sangat religius dan zuhud bagi pendidikan anak-anaknya. Ia berupaya membesarkan anak-anaknya dalam kultur syarif. Karenanya, sistem pendidikan yang ia terapkan cenderung klasik. Dalam sistem ini tidak ada pelajaran bahasa Inggris dan modern, yang ada hanya bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Karena itu, Maududi jadi ahli bahasa Arab pada usia muda. (http://www.activeboard.com/forum.spark?forumID=42349&p=3&topic ID=2089777)
al-Maududi memperoleh pendidikan menengah di Madrasah Fawqaniyah, sekolah yang menggabungkan pendidikan ala Barat modern dengan pendidikan islam tradisional. Setelah itu, al-Maududi melajutkan pendidikan tingginya di perguruan tinggi Darul Ulum di Hyderabad. Namun pendidikan formalnya di darul Ulum terhenti karena bapaknya sakit yang kemudian meningal dunia. Kemudian al-Maududi tetap bersemangat melanjutka pendidikannya walaupun di luar lembaga-lembaga pendidikan reguler. Hal ini tebukti, pada awal tahun 1920 al-Maududi sudah menguasai bahasa Arab, Parsi, dan Inggris, sehingga dengan penguasaan bahasa asing disamping bahasa Urdu sangat membantu al-Maududi untuk belajat sendiri (Mukti Ali, 1998: 238-239).
Setelah berhenti dari pendidikan formal, al-Maududi berbelok kepeda jurnaisme untuk mencari nafkah hidup. Pada tahun 1918 al-Maududi telah menulis artikel dalam bahasa Urdu untuk surat kabar setempat. Pada tahun 1920, dalam usia 17 tahun, al-Maududi diaangkat ebagi editor surat kabar Taj yang diterbitkan di Jabalpore. Pada akhir tahun 1920, al- Maududi memegang pimpinan surat kabar Muslim (1921-1923), dan kemudian al-Jamiat (1925-1928) yang di terbitkan oleh organisasi ulama-ulama muslim yang bernama Jam’iyat-I Ulama-I Hind di Delhi ( Mukti Ali, 1998: 239).
Setelah banyak mendapat pengalaman dan berpartisipasi aktif dalam penerbitan Koran dan majalah, pada tahun 1932, al-Maududi menerbitkan majalah Turjuman al-Quran, yang dipersembahkan kepda kaum muslimin India sebagai pemikir yang berbeda dengan cendikiawan muslim India, baik yang tergabung dalam Hizb al-Mu’tamar yang mayoritas Hindu maupun intelektual musli yang tergabung dalan Liga Muslim yang beraliran sekuler. Majalah tersebut membawa slogan “Wahai kaum musimin embanlah dakwah al-Quran, bangkitlah, bergemalah di seluruh negeri (Muhammad Imarah, 2007: 281)
Al-Maududi tebukti sebagai penulis yang produktif yang dapat menghasikan bepuluh-puluh halaman setiap bulannya yang lansung dimuat dalam majalah Turjuman al-Quran yang dipimpinya sendiri. Pertama-tama al-Maududi memusatkan perhatiannya untuk menerangkan ide, nilai, dan prinsip-prinsip dasar islam. Al-Maududi menaruh perhatian khusus tentang mslah-maslah yang timbul dari konflik antara pandangan Barat dengan pandangan Islam. Ia berusaha membahas masalah-masalah pokok modern dan berusaha untuk menyampaikan penyelesaian Islam terhadap maslah tersebut. Di samping itu, al-Maududi juga mengembangkan metodologi baru untuk mempelajari masalah-masalah itu dalam konteks pengalaman Barat dan dunia Islam, dengan menilai semua itu melalui kriterium teoritis dari kebaikan dan keunggulan yang sesui dengan ajaran al-Quran dan Sunnah (Mukti Ali, 1998; 240).
Pada masa selanjutnya, al-Maududi mulai menulis tentang isu-isu politik dan cultural yang menonjol yang dihadapi umat Islam India pada waktu itu dan berusaha melihatnya dari perspektif Islam lebih dari sekedar kepentingan politik dan ekonomi sementara. Ide tentang nasionalisme memperoleh perhatian yang kuat al-Maududi yang mulai mempengaruhi pemikiran umat islam. Al-Maududi menerangkan nasionalisme dan potensi-potensinya yang berbahaya, juga tidak sesuai dengan ajaran-ajaran islam. Al-Maududi juga menekankan bahwa nasionaisme dalam konteks India berarti penghancuran sama sekali terhadap identitas kolektif umat islam (Mukti Ali, 1998: 240).

Pandangan Terhadap Islam
Konsepsi tentang Tuhan dengan penekanan sebagai satu-satunya Zat yang berkuasa dan member prinsip hukum memberikan prinsip pokok otoritas. Semua prinsip, hukum, adat kebiasaan, yang berbeda dengan petunjuk Tuhan harus dijauhi. Semua teori dan ajaran yang tidak mengaju pada petunjuk Tuhan dapat dianggap sebagai menolak kedaulatan Tuhan dan membuat tuhan-tuhan selain dari pada Tuhan yang Esa yang sebenarnya. Tunduk dan patuh pada Tuhan berarti membawa seluruh hidup manusia ini sesuai dengan kemauan Tuhan yang diwahyukan (Mukti Ali, 2008: 244).
Konsep ini sebagai bentuk tauhid yang sempurna. Mengesakan Tuhan dengan menjadikan-Nya sumber segala-galanya dalam seluruh bentuk kehidupan manusia. Tuhan diposisikan sebagai Zat yang mempunyai otoritas penuh dan tidak dapat diganggu gugat dalam segala hal yang disampaikan melalui wahyu. Kemudian wahyu dipahami sebagai petunjuk yang sempurna yang harus dijadikan referensi satu-satunya. Maka tidak ada pengecualian dalam bentuk kehidupan apapun, termasuk masalah politik pemerintahan yang menjadi perhatian penuh al-Maududi.
Al-Maududi menekankan tentang adanya dua sikap hidup yang pada dasarnya satu sama lain sangat berbeda. Satu menerima Tuhan sebagai yang Maha Kuasa dan yang member hukum, dan denga itu berhadapan denga Tuhan sebagai hamba-Nya. Sedangkan yang lain adalah yang memberontak terhadap Tuhan dan menyombongkan dirinya atau orang lain terhadap Tuhan Esa yang sebenarnya sebagai yang mempunya otoritas yang memerintah Mukti Ali, 1998: 246).
Golongan yang pertama yang dimaksud al-Maududi adalah orang-orang yang tetap menjadikan ajaran islam sebagai satu-satunya landasan yang dipakai dalam kehidupan umat manusia. Islam adalah agama yang kaffah, yang mampu mengatur seluruh lini kehidupan, kapanpun dan di manapun melalui wahyu yang telah diturunkan Tuhan. Sehinga tidak ada alasan untuk menggunakan perspektif lain selain perspektif islam. Ini semua dilakukan dalam rangka mematuhi perinta Tuhan dan mengabdi kepada-Nya.
Golongan yang kedua adalah orang yang berpendapat perlu adanya peninjaun ulang terhadap pemahaman keislaman. Golongan ini secara lansung ataupun tidak lansung dipengaruhi oleh pemikiran modern Barat. Mereka lebih “tertarik” kepada konsep-konsep yang ditawarkan oleh Barat dari pada konsep Islama sendiri. Kemodernan dan kemajuan Barat telah “memikat” perhatian mereka dan mempunyai keinginan yang kuat untuk mempelajarinya. Kemunduran islam disebabkan karena umat islam terkungkung dalam paham tradisoanalnya sendiri. Dengan memakai konsep Barat ini yang dianggap al-Maududi sebaga orang yang menyombongkan diri dan memberontak Tuhan.
Seorang muslim bukan hanya dituntut untuk menyerahkan diri kepada Tuhan di tempat peribadatan saja, tetapi di semua tempat dan di sepanjang waktu, karena ibadah kepada Tuhan tidaklah terbatas kepada perbuatan-perbuatan yang ditentukan saja. Semua kehidupan manusia harus merupakan tingkah laku tunduk dan patuh pada Tuhan, karena setiap tingkah laku manusia yang darinya ia harapkan keridaan Allah dan ia tetap memperhatikan petunujuk-Nya (Mukti Ali, 2008: 247)
Dengan demikian berarti manusia mempunyai kewajiban untuk selalu tuntuk dan patuh kepada Allah dalam artian yang sangat luas. Setiap perilaku dalam menjalani kehidupan dilaksanakan untuk mencari keridaan Allah. Sehingga dalam praktek kegiatan manusia sehari-hari apakah itu dalam bidang ekonomi, social, politik, pemerintahan, pendidikan, hukum dan lain sebagainya harus tetap mengikuti dan memperhatikan wahyu yang merupakan petunjuk dari Tuhan.
Pemikiran dan akal manusia mempunyai kesanggupan yang besar dalam bidang tetentu, umpamanaya dalam bidang ilmu alam dan teknologi. Tetapi akal manusia tanpa dibantu petunju Tuhan sama sekali tidak cukup untuk meletakkan prinsip-prinsip adil dan jujur terhadap segala macam aspek yang beraneka ragam dari kodrat manusia dan yang membawanya kepada kebahagian yang sebenarnya. Kadang-kadang hasil pengetahuan dan kebijaksanaan yang ada pada manusia demikian sedkitnya untuk bisa menunjukan jalan yang sebenarnya bagi kehidupan manusia. Tugas ini bahkan menghadapi kesulitan makin banyak dengan kenyataan bahwa keinginan hewani dan kecenderungan-kecenderngan yang beraneka ragam dan keinginan-keinginan yang sempit mempengaruhi akal manusia dan mengacaukan pendiriannya (Mukti Ali, 1998: 247)
Al-Maududi mengakui dan menghargai kemampuan akal manusia, tetapi pemikiran itu tidak akan lepas dari petunjuk wahyu. Wahyu bukan saja sebagai alat bantu dan sumber dari pemikiran tersebut tetapi di sisi lain wahyu juga berfungsi sebagai pengawal terhadap hasil pemikiran tersebut. Wahyu akan membantu manusia untuk menghasilkan pemikiran yang akan mewujudkan keadilan bagi manusia dan juga sebagai alat ukur kebenaran hasil pemikiran tersebut.
Jauh dari perasaan apologi terhadap Islam, karena dominasi global dari kebudayaan yang berisi norma-norma dan nilai-nilai yang sangat asing bagi Islam, al-Maududi menganggap cara kehidupan islam adalah merupakan suatu kebutuhan untuk keselamatan umat manusia dewasa ini, sebagaimana ia juga menjadi penyelamat bagi manusia pada masa lalu. al-Maududi menghargai kemajuan sains dan teknologi serta dinamika yang pada umumnya ditunjukkan oleh kebudayaan Barat beberapa abad yang lalu, tetapi kebudayaan Barat tidak mempunyai kesadaran ke arah yang benar, dan pada dasarnya rusak dari dalam karena palsunya prinsip-prinsip yang menjadi dasar. Manusia modern berangsur-angsur sampai pada titik di mana ia menganggap tidak perlu lagi mengikuti petunjuk Tuhan dan juga merasa tidak perlu bertangung jawab kepada Tuhan terhadap perbuatannya (Mukti Ali, 2007: 248)
Al-Maududi ingin mengambarkan tentang bahaya yang sangat besar yang ditimbulkan oleh pengaruh Barat. Pengaruh Barat yang diadopsi melalui pemikiran-pemikiran dan kebudayan telah membawa manusia modern untuk “meninggalkan” Tuhan. Karena manusia modern menganggab bahwa mereka mampu untuk mencapai keadilan dengan akal mereka, bahkan lebih jauh dari itu, mereka sampai berpendapat bahwa agama menghambat kemajuan peradapan manusia. Fenomena ini menunjukkan bahaya bagi umat manusia dan kehancuran sikap keberagamaan. Menurut al-Maududi Islam adalah solusinya. Menjadikan Islam sebagai jalan hidup adalah kebutuhan untuk keselamatan manusia, sebagai mana pembebasan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad terhadap kejahiliahan masyarakat Mekkah tempo dulu.
Dalam bidang organisasi, al-Maududi mendirikan Jamaat Islami pada tahun 1943 yang bertujuan untuk mengadakan reformasi total dalam kehidupan umat Islam berdasarkan pemahaman Islam yang benar dan bersih dari noda-noda yang datang dari luar Islam. Selain itu, al-Maududi juga mendirikan organisasi Rabithah Alam Islami di Makkah dan anggota Akademi Riset tentang hukum di Madinah..(Said Nursi, 2005; 315)

Pemikiran Tentang Politik
Al. Maududi yang menonjol dalam pemikiran Islam modern, mengangkat slogan hakimiyah (kedaulatan) lebur menjadi hakiyat Allah (kedaulatan Tuhan). Al-Maududi mempersembakan kedaulatan Tuhan sebagai kekuasaaan ketuhanan yang berdalulat, kekuasan pelaku atas apapun yang dikehandaki-Nya, tidak ditanya apa yang diperbuat-Nya. Al-Maududi juga mengakui adanya kedaulatan manusia pada hal-hal yang tidak ada nash di dalamnya, baik nash yang qath’i al-dilalah (teks yang makna dan maksudnya pasti) maupun yang qath’i al-tsubut (keeksistensian teksnya pasti). Hal yang tidak ada nash tersebut adalah wilayah yang paling luas dalam yurispudensi Islam yang berkembanh dengan ijtihad sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat (Muhamad Imarah, 2007: 284-285).
Al-Maududi tidak berkenan menerima kenyataan bahwa umat Islam India harus merupakan suatu bangsa bersama-sama dengan orang India lainnya, semestinya kaum muslimin memiliki identitas atau rasionalitas sendiri yaitu Islam, mereka dipertalikan bersama-sama bukan karena ikatan geografis, bahasa, kepentingan bersama, ekonomi, atau bahkan budaya, tapi dalam komitmen mereka untuk mengikutu kehendak Tuhan dalam kehidupan mereka. Undang-undang Tuhan harus diutamakan dari yang lainnya, meskipun sebagai suatu masyarakat terpadu. Umat Islam di India juga harus bersama-sama menghadapi kaum penjajah, ingin merdeka dari pemerintahan Inggris, tetapi kemerdekaan dari Inggris itu sendiri tidak berfaedah jika kaum muslimin India harus menukar penghambaan kepada orang luar dengan penghambaan kepada mayoritas di dalam negerinya sendiri. Tegasnya, menghambakan diri walau kepada sesama warga India tetapi berbeda keyakinan tidak akan lebih baik dari penghambaan diri kepada penjajah (Tasman Yakub, 2000: 109-110).
Pernyataan di atas menggambarkan pemikiran dan keinginan al-Maududi untuk mendirikan sebuah kekuasaan Islam yang berdiri sendiri di atas syaria’t Islam itu sendiri di India. Pertama-tama al-Maududi mengajak umat Islam untuk melepaskan diri dari penjajah Inggris dan kemudian umat Islam tidak akan tunduk pada pemerintahan India yang berdasarkan keinginan mayoritas rakyat India yang beragama Hindu dengan alasan keyakinan yang berbeda. Ini tetap aja menyiratkan bahwa umat Islam hanya boleh tunduk pada pemerintahan Islam saja.
Konsep politik Islam yang digagas oleh al-Maududi dikenal dengan Theo-Demokrasi. Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep Theo-Demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi. Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan hal ini yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat (http://ayok.wordpress.com/2006/12/22/theo-demokrasi/).
Mengenai theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi, sebenarnya juga ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan. Meskipun demikian, ada analisis theokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian kedaulatan tertinggi ada berada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah SWT (http://ayok.wordpress.com/2006/12/22/theo-demokrasi/).
Dengan demikian secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan.
Dalam bukunya Khalifal wa Mulk al-Maududi menjelaskan tentang karakteristik Daulah Islamiyah yang sesuai dengan petunjuk al-Quran, yaitu :
o Negara tersebut harus merdeka terbebas dari penjajahan manapun, dan masyarakatnya menerima pemimpin dari kalangan mereka sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilahiyyat yang telah diatur oleh Allah SWT dalam al-Quran dan As-Sunnah.
o Pemimpin negeri itu harus melaksanakan tugas-tugas kenegaraan dengan penuh ikhlas mencapai ridha ilahi.
o Sesuai dengan asas demokrasi, dengan tetap menjunjung Undang-undang tertinggi yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
o Negara tersebut adalah negara yang berdiri diatas ideologi pemikiran islam yang benar, berjalan diatas asas dan pondasi keimanan yang asasi, dan barang siapa yang hidup di negara tersebut non muslim maka dia harus mematuhi hukum-hukum yang berjalan diatasnya dengan tetap menjaga hak dan kewajiban mereka sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
o Negara yang berdiri diatas mabda’ al-Islam.
o Ruh yang ada di negara tersebut mengikuti akhlaq Islami, bukan hanya berlandaskan politik kekuasaan, berjalan diatas ketaqwaan kepada Allah, dsb.
o Negara tersebut bukan hanya menegakkan konstitusi militer, tetapi juga bertujuan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
o Asas berdirinya negara itu adalah persamaan hak dan kewajiban serta saling tolong menolong di dalam kebajikan dan taqwa. Adanya hubungan yang baik antara penguasa dan rakyat, bukan seperti budak dihadapan majikannya yang harus menuruti semua keinginan majikannya.Dan tidak memperhatikan kebebasan berpendapat dan syura (http://satutujuan.multiply.com/journal/item/19 - _ftn7 )
Gagasan al-Maududi diwujudkannya dengan mendirikan Jama’at Islami (partai Islam), tepatnya pada Agustus 1941, bersama sejumlah aktifis Islam dan ulama muda. Segera setelah berdiri, Jama’ati Islami pindah ke Pathankot, tempat dimana Jama’at mengembangkan struktur partai, sikap politik, ideologi, dan rencana aksi. Sejak itulah Maududi mengosentrasikan dirinya memimpin umat menuju keselamatan politik dan agama. Sejak itu pula banyak karyanya terlahir di tengah-tengah umat. Ketika India pecah, Jama’at juga terpecah. Maududi, bersama 385 anggota jama’at memilih Pakistan. Markasnya berpindah ke Lahore, dan Maududi sebagai pemimpinnya. Sejak itu karir politik dan intelektual Maududi erat kaitannya dengan perkembangan Jama’at. Dia telah "kembali" kepada Islam, dengan membawa pandangan baru yang religi (http://www.activeboard.com/forum.spark?forumID =42349&p=3&topicID=2089777).

Strategi Kebangkitan Islam
Ketika membicarakan masalah kebangkitan Islam, al-Maududi menggunakan term jahiliah sebagai antithesis terhadap islam. Istilah jahiliah digunakan untuk menunjukkan semua pandangan dunia dan system berpikir, kepercayaan, dan perbuatan yang menolak kekuasaan Allah dan otoritas petunjuk-Nya. Terdapat berbagai bentuk jahiliah, jahiliah murni merupakan penolakan total terhadap dunia supra indrawi ataupun supra alami. Ada juga jahiliah yang tetap mengakui adanya Pencipta, tetapi dicampur adukkan dengan kepercayaan yang palsu. Di lain pihak, jahiliah yang menuju spritualitas yang berlebih-lebihan dengan sikap anti dunia, atau pun mengambil bentuk mistik yang berlebih-lebihan yang mengarah pada monestik dan panteistik (Mukti Ali, 1998: 254)
Al-Maududi menjelaskan, ada tiga langkah pendahuluan dalam kebangkitan Islam kembali yaitu :
1. Menganalisis situasi yang ada dalam hubungan konflik antara Islam dengan jahiliah dalam konteks waktu dan tempat. Penilaian yang jelas dan lansung tentang situasi itu merupakan suatu keharusan untuk mengetahui bentuk-bentuk jahiliah, sumber-sumber dari mana ia tumbuh, dan segi-segi yang sensitive dimana ketegangan dan konflik terdapat antara islam dan jahiliah.
2. Tujuan dari pokok usaha intelektual adalah untuk memperkukuh strategi yang didasarkan oleh analisis tersebut di atas, sehingga prinsip-prinsip Islam sekali lagi terlaksana dalam kehidupan muslim.
3. Meneliti sumber-sumber yang terdapat dalam periode tertentu. Penelitian yang hati-hati terhadap sumber-sumber mental, moral, dan material yang ada (Mukti Ali, 1998: 256)
Elemen-elemen yang pokok dari strategi ini adalah :
1. Tujuan dan prinsip Islam harus dijabarkan kembali dalam bahasa yang mudah dimengerti rakyat pada waktunya. Prisnsip-prinsip Islam harus disampaikan sedemikian rupa sehingga relevansinya dan superioritasnya di atas prinsip-prinsip lain menjadi jelas.
2. Rangkaian moral dan kehidupan rakyat harus dibina kembali untuk mengembangkan ciri Islam yang sebenarnya dan melibatkannya dalam usaha membawa reformasi dan pembinaan kembali.
3. Seluruh usaha ini mengharuskan adanya ijtihad fi al-din. Ini berarti bahwa cita, nilai dan prinsip Islam harus dilaksanakan kembali dlam konteks pembaharuan (Mukti Ali, 1998: 256-257).
Yang dibutuhkan adalah sekelompok orang atau suatu pimpinan yang dikaruniakan prinsip Islam yang bertekad menegakkan Islam, apapun yang mungkin terjadi. Kita mengetahui bila sebuah gedung harus dibangun, tujuan pasti tidak bisa dicapai bila para arsitek yang mengetahui rancangan bangunan tidak mempunyai kemauan untuk membangun, dan tidak memiliki sumber-sumber yang dibutuhkan. Sebaliknya bila tersedia, apapun juga dapat dibangun sebuah candi ataupun masjid (Tasman Ya’kub, 2000: 111)
Hilangnya idealisme Islam dalam kenyataan dalam sejarahnya membuahkan gerakan pembaharuan (tajdid) yang dipelopori oleh para tokoh pembaharu (mujadid). Dari sisi doktrinal pembaharuan adalah kebutuhan. Tetapi al Maududi menyatakan gerakan pembaruan tidak mesti direpresentasikan dalam wujud satu orang, tetapi bisa dalam satu kelompok orang. Tokoh awal yang sering didaulat sebagai pembaharu dalam sejarah Islam adalah Umar bin Abdul Aziz.
Berdasarkan konsepsi teoritis di atas adalah mudah dipahami jika kemudian al Maududi membangun kriteria bagi pembaharu. Tiga ciri yang dimiliki oleh setiap mujadid adalah diagnosis terhadap penyakit umat, skema reformasi dan penilaian terhadap kemampuan diri dan sumber daya. Ciri yang lain meliputi revolusi intelektual, praktek reformasi, ijtihad, revitalisasi sistem Islam dan menyebaran sistem Islam ke seluruh dunia. Ciri-ciri ini pada dasarnya adalah ciri bagi mujadid ideal. Dalam penilaian Al Maududi sejarah mujadid ideal ini belumlah muncul. Konsepsi ini adalah tafsirannya terkait dengan konsep al mahdi dalam Islam. Jadi al mahdi adalah mujadid ideal yang melalukan proses pembaharuan secara menyeluruh, utamanya menegakkan sistem islam (kedaulatan islam). Yang muncul dalam sejarah pada umumnya adalah tipe mujadid parsial. Umar bin Abdul Aziz, empat imam mazhab, imam Ghazali, Ibn Taimiyah, Ahmad Sirhindi dan Syah Waliullah Ad Dehlawi adalah representasi gerakan pembaruan dalam tubuh umat, dengan konsentrasi mereka masing-masing (http://refleksibudi.wordpress.com/2008/11/25/sketsa-pemikiran-abul-ala-al-maududi-tentang-sejarah/).

Karya-Karya Al- Maududi
Sebagai seorang tokoh yang besar dan berpengaruh dalam dunia Islam, sudah barang tentu al-Maududi menuangkan ide-ide pembaharuannya di atas kertas dalam bentuk buku atau artikel. Ditambah lagi pengalaman al-Maududi yang bergelut dalam dunia jurnalistik, menjadikan ia penulis yang produktif. Al-Maududi banyak sekali menulis buku yang ditujukan untuk menyampaikan gagasan pembahruannya dan pada gilirannya dapat dijadikan referensi untuk masa selanjutnya.
Karya al-Maududi yang paling besar adalah Tafsir al-Quran dalam bahasaUrdu, Tafhim al-Quran yang diselesaikanya selama30 tahun. Ciri utamanya adalah dalam menyampaikan arti dan pesan al-Quran dalam bahasa dan gaya yang menyentuh hati dan pikiran, serta menunjukkan revelansi al-Quran dengan masalah-masalah yang mereka hadapi sehari-hari, baik sebagai individu maupun dalam masyarakat. Al-Maududi menyampaikan al-Quran sebagai petunjuk dalam kehidupam manusia dan sebagai buku petunjuk bagi gerakan untuk melaksanakan petunjuk itu dalam kehidupan manusia. al-Maududi berusaha untuk menerangkan ayat-ayat al-Quran dalam konteks dari pesannya yang kekal (Mukti Ali, 2008: 242).
Ada lima buku utama al- Maududi merumuskan konsep proyek polotik dan peradaban. Kelima buku tersebut adalah al-Muslimun wa Shira’ al-Siyasi al-Rahin (Kaum Muslimin dan Pergolakan Politik Masa Kini), al-Ummah al-Islamiyah wa Qadhiyat al-Qaumiyah (Umat Islam dan Problem Nasionalisme), al-Nazhariyah al-Siyasah al-Islamiyah (Teori Politik Islam), al-Hukumah al-Islamiyah (Pemerintahan Islam), dan Mujaz Tarikh Tajdid al-Din wa Ihya’ih (Ringkasan Sejarah Pembaharuan dan Revitalisasi Islam.(Muhammad Imarah, 2007; 283). Karya lain yang juga tersebar luas anatara lain Mabadi’u al-Islam, al-Hijab, Tafsiru Surat al-Nur, al-Jihadu fi Sabilillahi, Tazkiratu Du’ati al-Islam, al-Inqilab al-Islam dan lain sebagainya (Said Nursi, 2005: 315)

Kesimpulan
Dalam bidang keislaman al-Maududi memberikan Konsepsi tentang Tuhan dengan penekanan sebagai satu-satunya Zat yang berkuasa dan member prinsip hukum memberikan prinsip pokok otoritas. Semua prinsip, hukum, adat kebiasaan, yang berbeda dengan petunjuk Tuhan harus dijauhi. Semua teori dan ajaran yang tidak mengaju pada petunjuk Tuhan dapat dianggap sebagai menolak kedaulatan Tuhan dan membuat tuhan-tuhan selain dari pada Tuhan yang Esa yang sebenarnya. Tunduk dan patuh pada Tuhan berarti membawa seluruh hidup manusia ini sesuai dengan kemauan Tuhan yang diwahyukan.
Konsep politik Islam yang digagas oleh al-Maududi dikenal dengan Theo-Demokrasi. Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep Theo-Demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi
Tentang kebangkitan Islam, al-Maududi mengatakan yang dibutuhkan adalah sekelompok orang atau suatu pimpinan yang dikaruniakan prinsip Islam yang bertekad menegakkan Islam, apapun yang mungkin terjadi. Kita mengetahui bila sebuah gedung harus dibangun, tujuan pasti tidak bisa dicapai bila para arsitek yang mengetahui rancangan bangunan tidak mempunyai kemauan untuk membangun, dan tidak memiliki sumber-sumber yang dibutuhkan. Sebaliknya bila tersedia, apapun juga dapat dibangun sebuah candi ataupun masjid.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung; Mizan. Cet. IV 1998
Imarah,Muhamad. 45 Tokoh Pengukir Sejarah, (terjemahan oleh Ahmad Syakur). Solo; Era Inter Nusa. 2007
Nursi, Syeikh Muhammad Said. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (terjemahan oleh Khairul Amru Harahap dan Achmad Fauzan). Jakarta; Pustaka al-Kautsar. 2005
Ya’kub, Tasman. Modernisasi Pemikiran Islam. Jakarta; The Minangkabau Foundation. Cet. I 2000
http://refleksibudi.wordpress.com/2008/11/25/sketsa-pemikiran-abul-ala-al-maududi-tentang-sejarah/).
http://www.activeboard.com/forum.spark?forumID =42349&p=3&topicID=2089777
http://satutujuan.multiply.com/journal/item/19 - _ftn7
http://artikeldaniklanbarisgratis.blogspot.com/2008/11/abul-ala-al-maududi-jamiat-islami-dan.html - _ftn1
http://ayok.wordpress.com/2006/12/22/theo-demokrasi/