Selasa, 21 April 2009

Abu A’la Al- Maududi

Pendahuluan
Pada dasarnya perhatian dan gagasan akan perubahan dan kebangkitan Islam bukanlah suatu hal yang baru. Cara pencapaiannya yang melalui reformasi ataupun revolusi telah lama menjadi pokok perdebatan yang kontroversial. Di awal abad 11, Imam Ghazali telah menguaraikan pentingnya kebangkitan Islam di negara-negara Islam sekalipun. Al-Ghazali memandang bahwa pembaharuan adalah dengan memperbaharui tipe Islam yang dijunjung tinggi dan didakwahkan oleh sebagian ulama. Dengan demikian akan ditemukan kembali Islam yang murni dan otentik yang dapat mengubah umat yang pada akhirnya nanti akan mengubah elit penguasa. (http://artikeldaniklanbarisgratis.blogspot.com/2008/11/abul-ala-al-maududi-jamiat-islami-dan.html - _ftn1)
Hal seperti ini juga diharapkan oleh para perintis kebangkitan Islam dalam mendirikan suatu pimpinan Islam, namun yang terjadi banyak dari sebagian mereka hanya mengemukakannya dalam kerangka teoritis saja. Sehingga yang terjadi, apa yang mereka lakukan dapat dikatakan gagal. Karena itu, dari kegagalan-kegagalan para pemikir Islam modern dan klasik dalam mendirikan pimpinan Islam inilah muncul gerakan-gerakan baru, yang mengemukakan kebangkitan Islam tidak hanya secara teori saja tetapi juga dengan prakteknya, yang berkembang di Mesir dan India. Di mesir, muncul gerakan yang dipimpin oleh Hasan Al-Banna dengan nama Ikhwanul Muslimin dan di India muncul pula Jami’at al-Islami dibawah komando Al-Maududi.

Biografi Al-Maududi
Abu A’la al-Maududi dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 yang bertepatan dengan 25 September 1903 H di Aurangabad, kata yang terkenal di Kesultanan Hydarabad (Deccan), sekarang dikenal dengan Andhra Prades, India. Dari pihak ayah, al-Maududi merupakan keturunan Nabi Muhammad sehingga ia berhak mendapat kehormatan memakai nama “sayyid”. Ayah al-Maududi adalah Ahmad Hasan, lahir tahun 1885 M. al-Maududi wafat tahun 1983(Mukti Ali, 1998: 238).
Ahmad Hasan, ayahnya Maududi, sangat menyukai tasawuf. Ia berhasil menciptakan kondisi yang sangat religius dan zuhud bagi pendidikan anak-anaknya. Ia berupaya membesarkan anak-anaknya dalam kultur syarif. Karenanya, sistem pendidikan yang ia terapkan cenderung klasik. Dalam sistem ini tidak ada pelajaran bahasa Inggris dan modern, yang ada hanya bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Karena itu, Maududi jadi ahli bahasa Arab pada usia muda. (http://www.activeboard.com/forum.spark?forumID=42349&p=3&topic ID=2089777)
al-Maududi memperoleh pendidikan menengah di Madrasah Fawqaniyah, sekolah yang menggabungkan pendidikan ala Barat modern dengan pendidikan islam tradisional. Setelah itu, al-Maududi melajutkan pendidikan tingginya di perguruan tinggi Darul Ulum di Hyderabad. Namun pendidikan formalnya di darul Ulum terhenti karena bapaknya sakit yang kemudian meningal dunia. Kemudian al-Maududi tetap bersemangat melanjutka pendidikannya walaupun di luar lembaga-lembaga pendidikan reguler. Hal ini tebukti, pada awal tahun 1920 al-Maududi sudah menguasai bahasa Arab, Parsi, dan Inggris, sehingga dengan penguasaan bahasa asing disamping bahasa Urdu sangat membantu al-Maududi untuk belajat sendiri (Mukti Ali, 1998: 238-239).
Setelah berhenti dari pendidikan formal, al-Maududi berbelok kepeda jurnaisme untuk mencari nafkah hidup. Pada tahun 1918 al-Maududi telah menulis artikel dalam bahasa Urdu untuk surat kabar setempat. Pada tahun 1920, dalam usia 17 tahun, al-Maududi diaangkat ebagi editor surat kabar Taj yang diterbitkan di Jabalpore. Pada akhir tahun 1920, al- Maududi memegang pimpinan surat kabar Muslim (1921-1923), dan kemudian al-Jamiat (1925-1928) yang di terbitkan oleh organisasi ulama-ulama muslim yang bernama Jam’iyat-I Ulama-I Hind di Delhi ( Mukti Ali, 1998: 239).
Setelah banyak mendapat pengalaman dan berpartisipasi aktif dalam penerbitan Koran dan majalah, pada tahun 1932, al-Maududi menerbitkan majalah Turjuman al-Quran, yang dipersembahkan kepda kaum muslimin India sebagai pemikir yang berbeda dengan cendikiawan muslim India, baik yang tergabung dalam Hizb al-Mu’tamar yang mayoritas Hindu maupun intelektual musli yang tergabung dalan Liga Muslim yang beraliran sekuler. Majalah tersebut membawa slogan “Wahai kaum musimin embanlah dakwah al-Quran, bangkitlah, bergemalah di seluruh negeri (Muhammad Imarah, 2007: 281)
Al-Maududi tebukti sebagai penulis yang produktif yang dapat menghasikan bepuluh-puluh halaman setiap bulannya yang lansung dimuat dalam majalah Turjuman al-Quran yang dipimpinya sendiri. Pertama-tama al-Maududi memusatkan perhatiannya untuk menerangkan ide, nilai, dan prinsip-prinsip dasar islam. Al-Maududi menaruh perhatian khusus tentang mslah-maslah yang timbul dari konflik antara pandangan Barat dengan pandangan Islam. Ia berusaha membahas masalah-masalah pokok modern dan berusaha untuk menyampaikan penyelesaian Islam terhadap maslah tersebut. Di samping itu, al-Maududi juga mengembangkan metodologi baru untuk mempelajari masalah-masalah itu dalam konteks pengalaman Barat dan dunia Islam, dengan menilai semua itu melalui kriterium teoritis dari kebaikan dan keunggulan yang sesui dengan ajaran al-Quran dan Sunnah (Mukti Ali, 1998; 240).
Pada masa selanjutnya, al-Maududi mulai menulis tentang isu-isu politik dan cultural yang menonjol yang dihadapi umat Islam India pada waktu itu dan berusaha melihatnya dari perspektif Islam lebih dari sekedar kepentingan politik dan ekonomi sementara. Ide tentang nasionalisme memperoleh perhatian yang kuat al-Maududi yang mulai mempengaruhi pemikiran umat islam. Al-Maududi menerangkan nasionalisme dan potensi-potensinya yang berbahaya, juga tidak sesuai dengan ajaran-ajaran islam. Al-Maududi juga menekankan bahwa nasionaisme dalam konteks India berarti penghancuran sama sekali terhadap identitas kolektif umat islam (Mukti Ali, 1998: 240).

Pandangan Terhadap Islam
Konsepsi tentang Tuhan dengan penekanan sebagai satu-satunya Zat yang berkuasa dan member prinsip hukum memberikan prinsip pokok otoritas. Semua prinsip, hukum, adat kebiasaan, yang berbeda dengan petunjuk Tuhan harus dijauhi. Semua teori dan ajaran yang tidak mengaju pada petunjuk Tuhan dapat dianggap sebagai menolak kedaulatan Tuhan dan membuat tuhan-tuhan selain dari pada Tuhan yang Esa yang sebenarnya. Tunduk dan patuh pada Tuhan berarti membawa seluruh hidup manusia ini sesuai dengan kemauan Tuhan yang diwahyukan (Mukti Ali, 2008: 244).
Konsep ini sebagai bentuk tauhid yang sempurna. Mengesakan Tuhan dengan menjadikan-Nya sumber segala-galanya dalam seluruh bentuk kehidupan manusia. Tuhan diposisikan sebagai Zat yang mempunyai otoritas penuh dan tidak dapat diganggu gugat dalam segala hal yang disampaikan melalui wahyu. Kemudian wahyu dipahami sebagai petunjuk yang sempurna yang harus dijadikan referensi satu-satunya. Maka tidak ada pengecualian dalam bentuk kehidupan apapun, termasuk masalah politik pemerintahan yang menjadi perhatian penuh al-Maududi.
Al-Maududi menekankan tentang adanya dua sikap hidup yang pada dasarnya satu sama lain sangat berbeda. Satu menerima Tuhan sebagai yang Maha Kuasa dan yang member hukum, dan denga itu berhadapan denga Tuhan sebagai hamba-Nya. Sedangkan yang lain adalah yang memberontak terhadap Tuhan dan menyombongkan dirinya atau orang lain terhadap Tuhan Esa yang sebenarnya sebagai yang mempunya otoritas yang memerintah Mukti Ali, 1998: 246).
Golongan yang pertama yang dimaksud al-Maududi adalah orang-orang yang tetap menjadikan ajaran islam sebagai satu-satunya landasan yang dipakai dalam kehidupan umat manusia. Islam adalah agama yang kaffah, yang mampu mengatur seluruh lini kehidupan, kapanpun dan di manapun melalui wahyu yang telah diturunkan Tuhan. Sehinga tidak ada alasan untuk menggunakan perspektif lain selain perspektif islam. Ini semua dilakukan dalam rangka mematuhi perinta Tuhan dan mengabdi kepada-Nya.
Golongan yang kedua adalah orang yang berpendapat perlu adanya peninjaun ulang terhadap pemahaman keislaman. Golongan ini secara lansung ataupun tidak lansung dipengaruhi oleh pemikiran modern Barat. Mereka lebih “tertarik” kepada konsep-konsep yang ditawarkan oleh Barat dari pada konsep Islama sendiri. Kemodernan dan kemajuan Barat telah “memikat” perhatian mereka dan mempunyai keinginan yang kuat untuk mempelajarinya. Kemunduran islam disebabkan karena umat islam terkungkung dalam paham tradisoanalnya sendiri. Dengan memakai konsep Barat ini yang dianggap al-Maududi sebaga orang yang menyombongkan diri dan memberontak Tuhan.
Seorang muslim bukan hanya dituntut untuk menyerahkan diri kepada Tuhan di tempat peribadatan saja, tetapi di semua tempat dan di sepanjang waktu, karena ibadah kepada Tuhan tidaklah terbatas kepada perbuatan-perbuatan yang ditentukan saja. Semua kehidupan manusia harus merupakan tingkah laku tunduk dan patuh pada Tuhan, karena setiap tingkah laku manusia yang darinya ia harapkan keridaan Allah dan ia tetap memperhatikan petunujuk-Nya (Mukti Ali, 2008: 247)
Dengan demikian berarti manusia mempunyai kewajiban untuk selalu tuntuk dan patuh kepada Allah dalam artian yang sangat luas. Setiap perilaku dalam menjalani kehidupan dilaksanakan untuk mencari keridaan Allah. Sehingga dalam praktek kegiatan manusia sehari-hari apakah itu dalam bidang ekonomi, social, politik, pemerintahan, pendidikan, hukum dan lain sebagainya harus tetap mengikuti dan memperhatikan wahyu yang merupakan petunjuk dari Tuhan.
Pemikiran dan akal manusia mempunyai kesanggupan yang besar dalam bidang tetentu, umpamanaya dalam bidang ilmu alam dan teknologi. Tetapi akal manusia tanpa dibantu petunju Tuhan sama sekali tidak cukup untuk meletakkan prinsip-prinsip adil dan jujur terhadap segala macam aspek yang beraneka ragam dari kodrat manusia dan yang membawanya kepada kebahagian yang sebenarnya. Kadang-kadang hasil pengetahuan dan kebijaksanaan yang ada pada manusia demikian sedkitnya untuk bisa menunjukan jalan yang sebenarnya bagi kehidupan manusia. Tugas ini bahkan menghadapi kesulitan makin banyak dengan kenyataan bahwa keinginan hewani dan kecenderungan-kecenderngan yang beraneka ragam dan keinginan-keinginan yang sempit mempengaruhi akal manusia dan mengacaukan pendiriannya (Mukti Ali, 1998: 247)
Al-Maududi mengakui dan menghargai kemampuan akal manusia, tetapi pemikiran itu tidak akan lepas dari petunjuk wahyu. Wahyu bukan saja sebagai alat bantu dan sumber dari pemikiran tersebut tetapi di sisi lain wahyu juga berfungsi sebagai pengawal terhadap hasil pemikiran tersebut. Wahyu akan membantu manusia untuk menghasilkan pemikiran yang akan mewujudkan keadilan bagi manusia dan juga sebagai alat ukur kebenaran hasil pemikiran tersebut.
Jauh dari perasaan apologi terhadap Islam, karena dominasi global dari kebudayaan yang berisi norma-norma dan nilai-nilai yang sangat asing bagi Islam, al-Maududi menganggap cara kehidupan islam adalah merupakan suatu kebutuhan untuk keselamatan umat manusia dewasa ini, sebagaimana ia juga menjadi penyelamat bagi manusia pada masa lalu. al-Maududi menghargai kemajuan sains dan teknologi serta dinamika yang pada umumnya ditunjukkan oleh kebudayaan Barat beberapa abad yang lalu, tetapi kebudayaan Barat tidak mempunyai kesadaran ke arah yang benar, dan pada dasarnya rusak dari dalam karena palsunya prinsip-prinsip yang menjadi dasar. Manusia modern berangsur-angsur sampai pada titik di mana ia menganggap tidak perlu lagi mengikuti petunjuk Tuhan dan juga merasa tidak perlu bertangung jawab kepada Tuhan terhadap perbuatannya (Mukti Ali, 2007: 248)
Al-Maududi ingin mengambarkan tentang bahaya yang sangat besar yang ditimbulkan oleh pengaruh Barat. Pengaruh Barat yang diadopsi melalui pemikiran-pemikiran dan kebudayan telah membawa manusia modern untuk “meninggalkan” Tuhan. Karena manusia modern menganggab bahwa mereka mampu untuk mencapai keadilan dengan akal mereka, bahkan lebih jauh dari itu, mereka sampai berpendapat bahwa agama menghambat kemajuan peradapan manusia. Fenomena ini menunjukkan bahaya bagi umat manusia dan kehancuran sikap keberagamaan. Menurut al-Maududi Islam adalah solusinya. Menjadikan Islam sebagai jalan hidup adalah kebutuhan untuk keselamatan manusia, sebagai mana pembebasan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad terhadap kejahiliahan masyarakat Mekkah tempo dulu.
Dalam bidang organisasi, al-Maududi mendirikan Jamaat Islami pada tahun 1943 yang bertujuan untuk mengadakan reformasi total dalam kehidupan umat Islam berdasarkan pemahaman Islam yang benar dan bersih dari noda-noda yang datang dari luar Islam. Selain itu, al-Maududi juga mendirikan organisasi Rabithah Alam Islami di Makkah dan anggota Akademi Riset tentang hukum di Madinah..(Said Nursi, 2005; 315)

Pemikiran Tentang Politik
Al. Maududi yang menonjol dalam pemikiran Islam modern, mengangkat slogan hakimiyah (kedaulatan) lebur menjadi hakiyat Allah (kedaulatan Tuhan). Al-Maududi mempersembakan kedaulatan Tuhan sebagai kekuasaaan ketuhanan yang berdalulat, kekuasan pelaku atas apapun yang dikehandaki-Nya, tidak ditanya apa yang diperbuat-Nya. Al-Maududi juga mengakui adanya kedaulatan manusia pada hal-hal yang tidak ada nash di dalamnya, baik nash yang qath’i al-dilalah (teks yang makna dan maksudnya pasti) maupun yang qath’i al-tsubut (keeksistensian teksnya pasti). Hal yang tidak ada nash tersebut adalah wilayah yang paling luas dalam yurispudensi Islam yang berkembanh dengan ijtihad sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat (Muhamad Imarah, 2007: 284-285).
Al-Maududi tidak berkenan menerima kenyataan bahwa umat Islam India harus merupakan suatu bangsa bersama-sama dengan orang India lainnya, semestinya kaum muslimin memiliki identitas atau rasionalitas sendiri yaitu Islam, mereka dipertalikan bersama-sama bukan karena ikatan geografis, bahasa, kepentingan bersama, ekonomi, atau bahkan budaya, tapi dalam komitmen mereka untuk mengikutu kehendak Tuhan dalam kehidupan mereka. Undang-undang Tuhan harus diutamakan dari yang lainnya, meskipun sebagai suatu masyarakat terpadu. Umat Islam di India juga harus bersama-sama menghadapi kaum penjajah, ingin merdeka dari pemerintahan Inggris, tetapi kemerdekaan dari Inggris itu sendiri tidak berfaedah jika kaum muslimin India harus menukar penghambaan kepada orang luar dengan penghambaan kepada mayoritas di dalam negerinya sendiri. Tegasnya, menghambakan diri walau kepada sesama warga India tetapi berbeda keyakinan tidak akan lebih baik dari penghambaan diri kepada penjajah (Tasman Yakub, 2000: 109-110).
Pernyataan di atas menggambarkan pemikiran dan keinginan al-Maududi untuk mendirikan sebuah kekuasaan Islam yang berdiri sendiri di atas syaria’t Islam itu sendiri di India. Pertama-tama al-Maududi mengajak umat Islam untuk melepaskan diri dari penjajah Inggris dan kemudian umat Islam tidak akan tunduk pada pemerintahan India yang berdasarkan keinginan mayoritas rakyat India yang beragama Hindu dengan alasan keyakinan yang berbeda. Ini tetap aja menyiratkan bahwa umat Islam hanya boleh tunduk pada pemerintahan Islam saja.
Konsep politik Islam yang digagas oleh al-Maududi dikenal dengan Theo-Demokrasi. Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep Theo-Demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi. Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan hal ini yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat (http://ayok.wordpress.com/2006/12/22/theo-demokrasi/).
Mengenai theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi, sebenarnya juga ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan. Meskipun demikian, ada analisis theokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian kedaulatan tertinggi ada berada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah SWT (http://ayok.wordpress.com/2006/12/22/theo-demokrasi/).
Dengan demikian secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan.
Dalam bukunya Khalifal wa Mulk al-Maududi menjelaskan tentang karakteristik Daulah Islamiyah yang sesuai dengan petunjuk al-Quran, yaitu :
o Negara tersebut harus merdeka terbebas dari penjajahan manapun, dan masyarakatnya menerima pemimpin dari kalangan mereka sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilahiyyat yang telah diatur oleh Allah SWT dalam al-Quran dan As-Sunnah.
o Pemimpin negeri itu harus melaksanakan tugas-tugas kenegaraan dengan penuh ikhlas mencapai ridha ilahi.
o Sesuai dengan asas demokrasi, dengan tetap menjunjung Undang-undang tertinggi yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
o Negara tersebut adalah negara yang berdiri diatas ideologi pemikiran islam yang benar, berjalan diatas asas dan pondasi keimanan yang asasi, dan barang siapa yang hidup di negara tersebut non muslim maka dia harus mematuhi hukum-hukum yang berjalan diatasnya dengan tetap menjaga hak dan kewajiban mereka sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
o Negara yang berdiri diatas mabda’ al-Islam.
o Ruh yang ada di negara tersebut mengikuti akhlaq Islami, bukan hanya berlandaskan politik kekuasaan, berjalan diatas ketaqwaan kepada Allah, dsb.
o Negara tersebut bukan hanya menegakkan konstitusi militer, tetapi juga bertujuan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
o Asas berdirinya negara itu adalah persamaan hak dan kewajiban serta saling tolong menolong di dalam kebajikan dan taqwa. Adanya hubungan yang baik antara penguasa dan rakyat, bukan seperti budak dihadapan majikannya yang harus menuruti semua keinginan majikannya.Dan tidak memperhatikan kebebasan berpendapat dan syura (http://satutujuan.multiply.com/journal/item/19 - _ftn7 )
Gagasan al-Maududi diwujudkannya dengan mendirikan Jama’at Islami (partai Islam), tepatnya pada Agustus 1941, bersama sejumlah aktifis Islam dan ulama muda. Segera setelah berdiri, Jama’ati Islami pindah ke Pathankot, tempat dimana Jama’at mengembangkan struktur partai, sikap politik, ideologi, dan rencana aksi. Sejak itulah Maududi mengosentrasikan dirinya memimpin umat menuju keselamatan politik dan agama. Sejak itu pula banyak karyanya terlahir di tengah-tengah umat. Ketika India pecah, Jama’at juga terpecah. Maududi, bersama 385 anggota jama’at memilih Pakistan. Markasnya berpindah ke Lahore, dan Maududi sebagai pemimpinnya. Sejak itu karir politik dan intelektual Maududi erat kaitannya dengan perkembangan Jama’at. Dia telah "kembali" kepada Islam, dengan membawa pandangan baru yang religi (http://www.activeboard.com/forum.spark?forumID =42349&p=3&topicID=2089777).

Strategi Kebangkitan Islam
Ketika membicarakan masalah kebangkitan Islam, al-Maududi menggunakan term jahiliah sebagai antithesis terhadap islam. Istilah jahiliah digunakan untuk menunjukkan semua pandangan dunia dan system berpikir, kepercayaan, dan perbuatan yang menolak kekuasaan Allah dan otoritas petunjuk-Nya. Terdapat berbagai bentuk jahiliah, jahiliah murni merupakan penolakan total terhadap dunia supra indrawi ataupun supra alami. Ada juga jahiliah yang tetap mengakui adanya Pencipta, tetapi dicampur adukkan dengan kepercayaan yang palsu. Di lain pihak, jahiliah yang menuju spritualitas yang berlebih-lebihan dengan sikap anti dunia, atau pun mengambil bentuk mistik yang berlebih-lebihan yang mengarah pada monestik dan panteistik (Mukti Ali, 1998: 254)
Al-Maududi menjelaskan, ada tiga langkah pendahuluan dalam kebangkitan Islam kembali yaitu :
1. Menganalisis situasi yang ada dalam hubungan konflik antara Islam dengan jahiliah dalam konteks waktu dan tempat. Penilaian yang jelas dan lansung tentang situasi itu merupakan suatu keharusan untuk mengetahui bentuk-bentuk jahiliah, sumber-sumber dari mana ia tumbuh, dan segi-segi yang sensitive dimana ketegangan dan konflik terdapat antara islam dan jahiliah.
2. Tujuan dari pokok usaha intelektual adalah untuk memperkukuh strategi yang didasarkan oleh analisis tersebut di atas, sehingga prinsip-prinsip Islam sekali lagi terlaksana dalam kehidupan muslim.
3. Meneliti sumber-sumber yang terdapat dalam periode tertentu. Penelitian yang hati-hati terhadap sumber-sumber mental, moral, dan material yang ada (Mukti Ali, 1998: 256)
Elemen-elemen yang pokok dari strategi ini adalah :
1. Tujuan dan prinsip Islam harus dijabarkan kembali dalam bahasa yang mudah dimengerti rakyat pada waktunya. Prisnsip-prinsip Islam harus disampaikan sedemikian rupa sehingga relevansinya dan superioritasnya di atas prinsip-prinsip lain menjadi jelas.
2. Rangkaian moral dan kehidupan rakyat harus dibina kembali untuk mengembangkan ciri Islam yang sebenarnya dan melibatkannya dalam usaha membawa reformasi dan pembinaan kembali.
3. Seluruh usaha ini mengharuskan adanya ijtihad fi al-din. Ini berarti bahwa cita, nilai dan prinsip Islam harus dilaksanakan kembali dlam konteks pembaharuan (Mukti Ali, 1998: 256-257).
Yang dibutuhkan adalah sekelompok orang atau suatu pimpinan yang dikaruniakan prinsip Islam yang bertekad menegakkan Islam, apapun yang mungkin terjadi. Kita mengetahui bila sebuah gedung harus dibangun, tujuan pasti tidak bisa dicapai bila para arsitek yang mengetahui rancangan bangunan tidak mempunyai kemauan untuk membangun, dan tidak memiliki sumber-sumber yang dibutuhkan. Sebaliknya bila tersedia, apapun juga dapat dibangun sebuah candi ataupun masjid (Tasman Ya’kub, 2000: 111)
Hilangnya idealisme Islam dalam kenyataan dalam sejarahnya membuahkan gerakan pembaharuan (tajdid) yang dipelopori oleh para tokoh pembaharu (mujadid). Dari sisi doktrinal pembaharuan adalah kebutuhan. Tetapi al Maududi menyatakan gerakan pembaruan tidak mesti direpresentasikan dalam wujud satu orang, tetapi bisa dalam satu kelompok orang. Tokoh awal yang sering didaulat sebagai pembaharu dalam sejarah Islam adalah Umar bin Abdul Aziz.
Berdasarkan konsepsi teoritis di atas adalah mudah dipahami jika kemudian al Maududi membangun kriteria bagi pembaharu. Tiga ciri yang dimiliki oleh setiap mujadid adalah diagnosis terhadap penyakit umat, skema reformasi dan penilaian terhadap kemampuan diri dan sumber daya. Ciri yang lain meliputi revolusi intelektual, praktek reformasi, ijtihad, revitalisasi sistem Islam dan menyebaran sistem Islam ke seluruh dunia. Ciri-ciri ini pada dasarnya adalah ciri bagi mujadid ideal. Dalam penilaian Al Maududi sejarah mujadid ideal ini belumlah muncul. Konsepsi ini adalah tafsirannya terkait dengan konsep al mahdi dalam Islam. Jadi al mahdi adalah mujadid ideal yang melalukan proses pembaharuan secara menyeluruh, utamanya menegakkan sistem islam (kedaulatan islam). Yang muncul dalam sejarah pada umumnya adalah tipe mujadid parsial. Umar bin Abdul Aziz, empat imam mazhab, imam Ghazali, Ibn Taimiyah, Ahmad Sirhindi dan Syah Waliullah Ad Dehlawi adalah representasi gerakan pembaruan dalam tubuh umat, dengan konsentrasi mereka masing-masing (http://refleksibudi.wordpress.com/2008/11/25/sketsa-pemikiran-abul-ala-al-maududi-tentang-sejarah/).

Karya-Karya Al- Maududi
Sebagai seorang tokoh yang besar dan berpengaruh dalam dunia Islam, sudah barang tentu al-Maududi menuangkan ide-ide pembaharuannya di atas kertas dalam bentuk buku atau artikel. Ditambah lagi pengalaman al-Maududi yang bergelut dalam dunia jurnalistik, menjadikan ia penulis yang produktif. Al-Maududi banyak sekali menulis buku yang ditujukan untuk menyampaikan gagasan pembahruannya dan pada gilirannya dapat dijadikan referensi untuk masa selanjutnya.
Karya al-Maududi yang paling besar adalah Tafsir al-Quran dalam bahasaUrdu, Tafhim al-Quran yang diselesaikanya selama30 tahun. Ciri utamanya adalah dalam menyampaikan arti dan pesan al-Quran dalam bahasa dan gaya yang menyentuh hati dan pikiran, serta menunjukkan revelansi al-Quran dengan masalah-masalah yang mereka hadapi sehari-hari, baik sebagai individu maupun dalam masyarakat. Al-Maududi menyampaikan al-Quran sebagai petunjuk dalam kehidupam manusia dan sebagai buku petunjuk bagi gerakan untuk melaksanakan petunjuk itu dalam kehidupan manusia. al-Maududi berusaha untuk menerangkan ayat-ayat al-Quran dalam konteks dari pesannya yang kekal (Mukti Ali, 2008: 242).
Ada lima buku utama al- Maududi merumuskan konsep proyek polotik dan peradaban. Kelima buku tersebut adalah al-Muslimun wa Shira’ al-Siyasi al-Rahin (Kaum Muslimin dan Pergolakan Politik Masa Kini), al-Ummah al-Islamiyah wa Qadhiyat al-Qaumiyah (Umat Islam dan Problem Nasionalisme), al-Nazhariyah al-Siyasah al-Islamiyah (Teori Politik Islam), al-Hukumah al-Islamiyah (Pemerintahan Islam), dan Mujaz Tarikh Tajdid al-Din wa Ihya’ih (Ringkasan Sejarah Pembaharuan dan Revitalisasi Islam.(Muhammad Imarah, 2007; 283). Karya lain yang juga tersebar luas anatara lain Mabadi’u al-Islam, al-Hijab, Tafsiru Surat al-Nur, al-Jihadu fi Sabilillahi, Tazkiratu Du’ati al-Islam, al-Inqilab al-Islam dan lain sebagainya (Said Nursi, 2005: 315)

Kesimpulan
Dalam bidang keislaman al-Maududi memberikan Konsepsi tentang Tuhan dengan penekanan sebagai satu-satunya Zat yang berkuasa dan member prinsip hukum memberikan prinsip pokok otoritas. Semua prinsip, hukum, adat kebiasaan, yang berbeda dengan petunjuk Tuhan harus dijauhi. Semua teori dan ajaran yang tidak mengaju pada petunjuk Tuhan dapat dianggap sebagai menolak kedaulatan Tuhan dan membuat tuhan-tuhan selain dari pada Tuhan yang Esa yang sebenarnya. Tunduk dan patuh pada Tuhan berarti membawa seluruh hidup manusia ini sesuai dengan kemauan Tuhan yang diwahyukan.
Konsep politik Islam yang digagas oleh al-Maududi dikenal dengan Theo-Demokrasi. Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep Theo-Demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi
Tentang kebangkitan Islam, al-Maududi mengatakan yang dibutuhkan adalah sekelompok orang atau suatu pimpinan yang dikaruniakan prinsip Islam yang bertekad menegakkan Islam, apapun yang mungkin terjadi. Kita mengetahui bila sebuah gedung harus dibangun, tujuan pasti tidak bisa dicapai bila para arsitek yang mengetahui rancangan bangunan tidak mempunyai kemauan untuk membangun, dan tidak memiliki sumber-sumber yang dibutuhkan. Sebaliknya bila tersedia, apapun juga dapat dibangun sebuah candi ataupun masjid.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung; Mizan. Cet. IV 1998
Imarah,Muhamad. 45 Tokoh Pengukir Sejarah, (terjemahan oleh Ahmad Syakur). Solo; Era Inter Nusa. 2007
Nursi, Syeikh Muhammad Said. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (terjemahan oleh Khairul Amru Harahap dan Achmad Fauzan). Jakarta; Pustaka al-Kautsar. 2005
Ya’kub, Tasman. Modernisasi Pemikiran Islam. Jakarta; The Minangkabau Foundation. Cet. I 2000
http://refleksibudi.wordpress.com/2008/11/25/sketsa-pemikiran-abul-ala-al-maududi-tentang-sejarah/).
http://www.activeboard.com/forum.spark?forumID =42349&p=3&topicID=2089777
http://satutujuan.multiply.com/journal/item/19 - _ftn7
http://artikeldaniklanbarisgratis.blogspot.com/2008/11/abul-ala-al-maududi-jamiat-islami-dan.html - _ftn1
http://ayok.wordpress.com/2006/12/22/theo-demokrasi/








1 komentar:

  1. Baccarat - FBCasino
    A simple game of Baccarat. The aim septcasino of this game is to score 5 or more points or febcasino more on 메리트 카지노 주소 each trick, then use a 5. In an online game of Baccarat.

    BalasHapus