Senin, 06 April 2009

Pernikahan Dini

Pendahuluan

Islam telah memberikan keleluasaan bagi siapa saja yang sudah memiliki kemampuan (al-ba’ah) untuk segera menikah dan tidak menunda-nunda pernikahan bagi yang sudah mampu yang akan dapat menghantarkannya kepada perbuatan haram. Selain itu Rasulullah telah memberikan panduan bagi laki-laki untuk mencari pasangannya yang memiliki potensi subur untuk memiliki banyak keturunan. Rasulullah jelas-jelas sangat menginginkan umatnya nanti di yaumil akhir adalah umat yang terbanyak yang dapat beliau banggakan.

Isu pernikahan dini saat ini marak dibicarakan. Hal ini dipicu oleh pernikahan Pujiono Cahyo Widianto, seorang hartawan sekaligus pengasuh pesantren dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan antara pria berusia 43 tahun dengan gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak. Bahkan dari para pengamat berlomba memberikan opini yang bernada menyudutkan. Umumnya komentar yang terlontar memandang hal tersebut bernilai negatif.

Di sisi lain, Syeh Puji, begitu ia akrab disapa berdalih untuk mengader calon penerus perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia karena dianggap masih murni dan belum terkontaminasi arus modernitas. Lagi pula dalam pandangan Syeh Puji, menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama.

Batasan Usia Pernikahan Dini

Istilah pernikahan dini adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yakni sangat di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluwarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada awal-awal abad ke-20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-14 tahun, atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak wajar, "terlalu dini" istilahnya.[1]

Pernikahan dini mengandung pengertian bahwa salah satu calon suami atau istri maupun keduanya dalam usia dini yaitu belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Batasan usia yang ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan dan juga tertera dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu 19 tahun untuk calon mempelai laki-laki dan 16 tahun untuk calon mempelai pria.

Quraish Shihab dalam menafsirkan kata والتى لم يحضن dalam surat al-Thalaq ayat 4, mengatakan bahwa maksud kalimat itu adalah perempuan yang tidak haid artinya perempuan yang belum dewasa. Dengan demikian dapat dipahami bahwa batasan untuk pernikahan dini adalah usia dewasa. Ulama fiqh menetapkan, usia dewasa (baligh) perempuan yaitu ketika telah mengalami haid.[2]

Dalam tafsir al-Mishbah disebutkan bahwa Imam Abu Hanifah memberikan perbandingan dengan usia anak yatim yang sudah boleh diberikan kepada mereka harta-harta yang sebelumnya dikelola oleh wali yaitu usia 25 tahun, dengan pertimbangan usia dewasa pada umur 18 tahun dan tahap peyempurnaan 7 tahun lagi, sehingga genap menjadi 25 tahun.

Jadi pernikahan yang dilaksanakan oleh calon suami yang belum beumur 16 tahun dan/atau calaon istri yang belum berumur 16 tahun dapat dikategrikan sebagi pernikahan dini. Dengan merujuk kepada UU Perkawinan dan KHI yang memberikan batasan yang lebih ideal dengan memperimbangkan aspek psikologis dan kematangan berpikir.

Pernikahan Dini menurut Negara

Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.[3]

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan. Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[4]

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.

Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

Secara tegas sudah diatur dalam undang-undang bahwa hanya orang-orang yang telah memenuhi batasan umur tertentu yang dibolehkan untuk menikah. Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilaksanakan oleh salah seorang atau kedua mempelai yang berumur di bawah batasan usia yang telah ditentukan oleh undang-undang. Maka dengan demikian pernikahan dini tidak dibolehkan oleh hukum Negara.

Menangapi kasus pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan sangat mengecam pernikahan itu. Meneg Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta memberikan paparan analisanya, Ia memandang bahwa pernikahan usia dini ini telah menghilangkan hak Ulfa sebagai anak perempuan dalam mendapatkan pendidikan. Tidak bisa lanjutkan sekolah, tidak memiliki ijazah, dan dikhawatirkan menjadi perempuan yang bodoh jika tidak mendapat didikan yang baik dalam rumah tangga.

KPAI menejelaskan, ancaman hukuman bagi orang yang melakukan pernikahan dengan perempuan yang masih dalam usia anak-anak yaitu kurungan penjara selama 15 tahun dan atau denda hingga Rp 300 juta. Seperti yang tercantum pada Pasal 81 dan Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Berikut adalah sebagian kutipannya:

Pasal 81

1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).[5]

Pernyataan Meneg Perempuan di atas terkesan berlebihan, karena masih terbuka kemungkinan bahwa Ulfa diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya, dan juga menghabisan indahnya masa anak-anak Ulfa. Yang paling penting dalam pernikahan adalah lafaz ijab Kabul yang merupakan perjanjian yang sangat kuat terhadap kedua belah pihak.

Adanya Undang-Undang Perlindungan Anak dapat dijadikan sebagai batasan dan acuan bagi orang yang melaksanakan pernikahan dini. Ancaman dalam undang-undang di atas hanya terhadap perilaku criminal yang mungkin saja dilakukan oleh suami, selama itu terbukti dan mempunyai fakta yang kuat. Bukan secara substansi melarang pernikahan terhadap anak pad usia dini.

Hukum Pernikahan Dini Dalam Islam

Dalam islam, yang memberikan legalitas dalam setiap perilaku umatnya adalah fiqh. Sesuai dengan defenisinya, fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil-dalil terperinci,[6] maka perbedaan ahli hukum (mujtahid) dalam memahami dan mengambil dalil-dalil dari nash, akan mengeluarkan (istimbath) hukum yang berbeda pula. Khilafiah (perbedaan pendapat) dalam fiqh bukanlah hal yang mencengangkan, bahkan boleh dikatakan sebagai keniscayaan. Namun hal itu bisa diterima selama masih dalam batas kewajaran (tidak bertentangang dengan prinsip dasar al-Quran dan sunnah).

Tidak terkecuali dalam masalah pernikahan, apalagi pernikahan di usia dini yang sangat banyak menuai kontroversi dengan memberikan alasan (naqli dan ‘aqli). Pendapat mereka antara lain ;

a. Pendapat yang melarang

Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan. Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.[7]

Dalam surat an- Nisa’ ayat 6 dinyatakan bahwa :

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin”. (QS An-Nisa’[4] :6).

Ayat di atas menyiratkah bahwa ada batasan umur tertentu untuk dapat melangsungkan pernikahan, yaitu ketika sudah mencapai usia baligh. Jika dikaitkan dengan hukum wadh’I, usia baligh merupakan syarat. Hukum itu akan berlaku ketika syarat itu sudah ada atau datang. Dengan demikian, perintah untuk menikah hanya ditujukan kepada orang yang telah baligh.

Bagi orang yang belum baligh, belum dikenai hukum ini, bahkan sebaliknya dilarang. Karena sesuai dengan kaidah fiqiah tentang ibadah :

الاصل فى العبادة التوقف الإتباع

” Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syari’ah”.[8].

Lebih lanjut dalam pasal 15 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa untuk kemashlahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.[9]

Kompilasi Hukum Islam (KHI) itu sendiri merupakan sebuah upaya untuk menerapkan konsep-konsep hukum islam (fiqh) di tengah-tengah masyarakat dengan memberikan payung hukum dalam operasionalnya. Materi KHI dirangkum dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis para ulama fiqh. Sehingga KHI tidak keluar dari prinsipnya sebagai hasil ijtihad ulama fiqh.

b. Pendapat yang membolehkan

Dalil kebolehannya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur`an adalah firman Allah SWT (artinya) :


“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS Ath-Thalaq [65] : 4).

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa yang dimaksud “perempuan-perempuan yang tidak haid” (lam yahidhna), adalah anak-anak perempuan kecil yang belum mencapai usia haid (ash-shighaar al-la`iy lam yablughna sinna al-haidh). Ini sesuai dengan sababun nuzul ayat tersebut, ketika sebagian shahahat bertanya kepada Nabi SAW mengenai masa iddah untuk 3 (tiga) kelompok perempuan, yaitu : perempuan yang sudah menopause (kibaar), perempuan yang masih kecil (shighar), dan perempuan yang hamil (uulatul ahmaal). Jadi, ayat di atas secara manthuq (makna eksplisit) menunjukkan masa iddah bagi anak perempuan kecil yang belum haid dalam cerai hidup, yaitu selama tiga bulan.

Imam Suyuthi dalam kitabnya Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil hal. 212 mengutip Ibnul Arabi, yang mengatakan,”Diambil pengertian dari ayat itu, bahwa seorang [wali] boleh menikahkan anak-anak perempuannya yang masih kecil, sebab iddah adalah cabang daripada nikah.”

Jadi, secara tidak langsung, ayat di atas menunjukkan bolehnya menikahi anak perempuan yang masih kecil yang belum haid. Penunjukan makna (dalalah) yang demikian ini dalam ushul fiqih disebut dengan istilah dalalah iqtidha`, yaitu pengambilan makna yang mau tak mau harus ada atau merupakan keharusan (iqtidha`) dari makna manthuq (eksplisit), agar makna manthuq tadi bernilai benar, baik benar secara syar’i (dalam tinjauan hukum) maupun secara akli (dalam tinjauan akal). Jadi, ketika Allah SWT mengatur masa iddah untuk anak perempuan yang belum haid, berarti secara tidak langsung Allah SWT telah membolehkan menikahi anak perempuan yang belum haid itu, meski kebolehan ini memang tidak disebut secara manthuq (eksplisit) dalam ayat di atas.

Adapun dalil As-Sunnah, adalah hadits dari ‘Aisyah RA, dia berkata :

عن عائشة رضى الله عنها أن النبى ص م تزوجها وهى بنت ست سنين و أدخلت عليه وهى بنت تسع و مكثت عنده تسعا . (رواه البخارى ) [10]

“Dari Aisyah R.A, Bahwa Nabi SAW telah menikahi ‘A`isyah RA sedang ‘A`isyah berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengannya pada saat ‘Aisyah berumur 9 tahun, dan ‘Aisyah tinggal bersama Nabi SAW selama 9 tahun.” (HR Bukhari(

Dalam riwayat lain disebutkan :

عن عائشة رضى الله عنها. قلت : تزوجنى رسول الله ليست سنين. وبنى يى وأنا بنت تسعين. (رواه مسلم ) [11]

Dari Aisyah R.A, Nabi SAW menikahi ‘A`isyah RA ketika ‘Aisyah berumur 7 tahun [bukan 6 tahun] dan Nabi SAW berumah tangga dengan ‘Aisyah ketika ‘Aisyah umurnya 9 tahun. (HR Muslim)

Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar (9/480) menyimpulkan dari hadits di atas, bahwa boleh hukumnya seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang belum baligh (yajuuzu lil abb an yuzawwija ibnatahu qabla al-buluugh).

Berdasarkan dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa mubah hukumnya seorang laki-laki menikah dengan anak perempuan kecil yang belum haid. Hukum nikahnya sah dan tidak haram. Namun syara’ hanya menjadikan hukumnya sebatas mubah (boleh), tidak menjadikannya sebagai sesuatu anjuran atau keutamaan (sunnah/mandub), apalagi sesuatu keharusan (wajib).[12]

Melihat konteks dua hadits di atas, kebolehan menikah pada usia dini hanya disinyalir untuk perempuan yang belum baligh. Tidak ditemukan pemahaman bahwa pernikahan dini dilakukan oleh perempuan dan laki-laki yang masih kecil, atau perempuan dewasa dengan laki-laki yang masih kecil. Nabi Muhammad sendiri menikah dengan Aisyah sudah mencapai usia baligh. Dengan demikian, kebolehan menikah pada usia dini hanya dikhususkan pada perempuan yang masih kecil, tidak untuk laki-laki.

Amir Syarifuddin dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam di Indosesia; antara Fiqh Munkahat dan Undang-Undang Perkawinan, menjelaskan bahwa syarat perkawinan yang ke-lima adalah keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan pernikahan. Menurut Ibnu al-Humam dalam kitabnya Syarh Fath al-Qadir, bahwa boleh terjadi perkawinan antara laki-laki yang masih kecil dengan perempuan yang masih kecil.

Pendapat Ibnu al-Humam ini, tanpa didasari oleh dalil yang kuat, apalagi jika dilihat dari kemudhratan yang terjadi. Suami menpunyai tanggung jawab yang besar terhadap seluruh aspek kehidupan keluarga, pada usiadini ini, sangat dikhawatirkan suami tidak mampu memenuhi kewajiban sebagai suami, terutama dalam menafkahi keluarga serta aspek psiologi dan kematangan berfikir.

Dalam hadits lain disebutkan bahwa perintah menikah yang ditujukan pada pemuda, adalah pemuda yang telah mempunyai kemampuan untuk menikah secara materi dan non materi. Ini jelas syarat utama pemuda untuk menikah adalah sudah mempeunyai kemampuan.

Kesimpulan

Pertama, dalam UU no.1 tahun 1974 dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dijelaskan bahwa pernikahan hanya diizinkan kepada laki-laki yang telah berumur 19 tahun dan yang telah berumur 16 tahun. Dengan demikian pernikahan pada usia dini dilarang.

Kedua, dalam tinjauan hukum islam, ulama berbeda pendapat, ulama yang melarang berpendapat bahwa kebolehan menikahi perempuan yang masih anak-anak, khusus dibolehkan pada Rasulullah yang menikahi Aiysah. Karena dalam keseluruhan spek pernikahan, Rasulullah diberi keistemawaan, seperti boleh poligami lebih dari empat dan termasuk menikahi perempuan yang masih dalam usia dini.

Ketiga, ulama yang membolehkan, selain memakai dalil praktek pernikahan yang dilakukan Rasulullah, berlandaskan ayat yang menjelaskan bahwa masa iddah perempuan yang belum haid (masih kecil) adalah 3 bulan 10 hari. Berarti dengan adanya aturan iddah anak-anak, maka anak-anak dibolehkan menikah sebelum datang masa haid.

Keempat, jika dilihat lebih dispesifikkan lagi, keboleh menikah dalm islam pada usia dini hanya khusus bagi pernikahan antara laki-laki dewasa dengan perempuan yang masih kecil. Karena suami bertanggung jawab penuh terhadap seluruh permasalahan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana, 2007).

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997).

al-Ju’fiy, Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail Ibn Ibrahim ibn Mughirah ibn Bardazabih al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007).

al-Naisaburi ,Imam Abi Husain Muslim ibn Hajjaj a-Quraisyi, Shahih Muslim, (Kairo, Dar al-Hisyam, 2001), hal. 349

Shihab, Quraisy, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta, Lentera Hati, 2002), Volume 14.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indosesia; antara Fiqh Munkahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta, Kencana, 2006)

http://www.indofamily.net/index.php?option=com_content&task=view&id=2936&Itemid=108

http://www.konsultasi-islam.com

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=14914

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1240:pernikahan-dini-dalam-perspektif-agama-dan-negara&catid=2:islam-kontemporer&Itemi

http://www.wahdah.or.id/wahdah/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=186











[1] http://www.wahdah.or.id/wahdah/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=186

[2] Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta, Lentera Hati, 2002), Volume 14, hal. 298

[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indosesia; antara Fiqh Munkahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta, Kencana, 2006). hal. 66

[4] http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=14914

[5] http://www.indofamily.net/index.php?option=com_content&task=view&id=2936&Itemid=108

[6] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 3

[7] http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1240:pernikahan-dini-dalam-perspektif-agama-dan-negara&catid=2:islam-kontemporer&Itemid=57

[8] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta, Kencana, 2007), hal. 114

[9] Op.cit, Amir, hal. 67

[10] Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail Ibn Ibrahim ibn Mughirah ibn Bardazabih al-Bukhari al-Ju’fiy, Shahih Bukhari, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007), cet ke-5, hal. 967

[11] Imam Abi Husain Muslim ibn Hajjaj a-Quraisyi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Kairo, Dar al-Hisyam, 2001), hal. 349

[12] www.konsultasi-islam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar