Senin, 06 April 2009

ULIL AMRI

Pendahuluan

Dalam kehidupan bermasyarakat, islam sebagai agama yang bersifat universal telah memberikan konsep-konsep pokok tentang hubungan antara pimpinan dengan orang yang dipimpinya. Petunjuk tersebut dapat dipahami dari ayat-ayat al-Quran dan praktek yang telah dilakukan oleh Rasulullah selama kepemimpinan beliau di Mekkah dan Madinah. Dan juga dapat dijadikan acuan praktek-praktek kepemimpinan pada masa Khulafah al-Rasyidin.

Namun, praktek tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi umat pada waktu itu sehingga tidak bisa serta merta seluruh praktek tersebut layak pakai untuk kondisi kemasyarakan saat ini. Tetapi tidak mungkin pula mengabaikan begitu saja perilaku kepemimpinan tersebut. Jadi untuk tetap bisa dipakai, maka harus dicari nila-nilai yang tersembunyi dari setiap perilaku tersebut yang kemudian disesuaikan keadaan saat ini tanpa mengurangi nilai-nilai tersebut.

Nilai-nilai dari perilaku tersebut bisa dirujuk kembali kepada al-Quran yang menjadi sumber utama dalam setiap praktek tersebut. Dengan adanya ayat yang memberikan gambaran pokok tentang prinsip kemasyarakatan dan kemudian dikompromikan dengan paraktek Rasulullah dan para sahabat beliau, maka nilai-nilai yang menjadi dasar pelaksanaan tadi tidak hilang danberkurang sehingga umat islam tetap berpegang teguh pada ajaran agamanya.

Pengertian

Tafsir at-Thabari, sebuah kitab tafsir klasik yang ditulis oleh ulama besar Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari dan banyak dirujuk oleh para mufassir berikutnya, menyebutkan bahwa para ahli ta'wil berbeda pandangan mengenai arti ulil amri. Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah umara. Berkata sebagian ulama lain, masih dalam kitab tafsir yang sama, bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqh). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah-lah yang dimaksud dengan ulil amri. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat lebih jauh dalam Tafsir at-Thabari, juz 5, h. 147-149)

Imam al-Mawardi dalam kitab tafsirnya menyebutkan ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat "ulul amri" pada QS An-Nisa:59. Pertama, ulil amri bermakna umara (para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan). Ini merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Sady, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid. Imam al-Mawardi memberi catatan bahwa walaupun mereka mengartikannya dengan umara namun mereka berbeda pendapat dalam sabab nuzul turunnya ayat ini. Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Huzafah bin Qays as-Samhi ketika Rasul mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyah (perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah saw.). Sedangkan As-Sady berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh Rasul sebagai pemimpin dalam syari’ah.( http://media.isnet.org/isnet/Nadirsyah/ulilamri.html)

Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah. Ketiga, Pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. Pendapat keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar. (Tafsir al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500)

Perbedaan pengertian ini terjadi karena tidak adanya penjelasan secara konkrit tentang defenisi ulil amri dalam al-Quran dan hadis maupun sumber riwayat lainnya. Perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh at-Thabari dan al-Mawardi di atas dapat dilihat bahwa pendapat yang pertama dan kedua lebih kuat dari yang lainnya. Karena kata ulil amri tidak hanya dipakai pada masa Rasulullah saja tetapi juga sampai akhir zaman. Hal ini disinyalir dalam al-Quran bahwa ada kewajiban untuk untuk mentaati Allah, Rasul-Nya dan juga ulil amri. Jika ulil amri diartikan para shahabat ataupun Abu Bakar dan Umar, maka bertentangan dengan ayat tersebut.

Perbedaan antara pengertian yang pertama dan kedua terletak pada wewenang kepemimpinannya. Pendapat pertama membatasi kekuasaan ulil amri hanya masalah kedunian saja, sedangkan masalah agama dipimpin oleh ulama. Sedangkan pendapat yang kedua kebalikan yang pertama, ulil amri adalah para ulama dan fuqaha.

Ahmad Mustafa al-Maraghi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan dan seluruh pemimpin lainnya dan zuama yang manusia merujuk kepada mereka dalam hal kebutuhan dan kemaslahatan umum. Dalam halaman selanjutnya al-Maraghi juga menyebutkan contoh yang dimaksud dengan ulil amri ialah ahlul halli wal aqdi (legislatif ?) yang dipercaya oleh umat, seperti ulama, pemimpin militer dan pemimpin dalam kemaslahatan umum seperti pedagang, petani, buruh, wartawan dan sebagainya. (Tafsir al-Maraghi, juz 5, h. 72-73)

Pengertian yang diberikan oleh al-Maraghi ini lebih luas cakupannya. Ulil amri tidak hanya pemimpin agama atau pemerintahan saja tetapi setiap orang yang diberikan amanah untuk memimpin suatu kelompok atau lembaga yang dipercaya mampu mengemban tugas tersebut demi kemashlahatan ummat. Dan tidak lagi dibatasi antara masalah agama atau dunia. Dengan demikian pendapat al-maraghi ini mudah untuk diterima dan dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat saat ini.

Surat Ali imran Ayat 159

Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.an membentuk keprebadian nabi Muhammad , sebagai mana sabda beliau : aku dididik oleh tuhanku, maka sunguh baik didikannya. Kepribadian beliau dibentk sehingga bukan hanya pengetahuan yang diberikan Allah kepada beliau melaui whyu tetapi juga kalbu beiau disinari bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi sekalian alam.(Ali Imran; 159)

Ayat ini diturunkan setelah perang uhud, ketika itu sebagian sahabat ada yang melanggar perintah Nabi. Akibat pelanggaran tersebut menyeret kaum muslimin kedalam kegagalan sehingga kaum musyrikin dapat mengalahkan mereka. Rasulullah sendiri mengalami luka-luka, namun Nabi tetap sabar, tahan uji dan bersika lemah lembut serta tidak mencela kesalahan sahabat. Sikap Rasulullah adalah mengikuti kitabullah, sebab dalam peristiwa tersebut banyak ayat-ayat yang diturunkan.(al-Maraghi,1993: 193)

Rasulullah menampakkan akhlak mulia sebagai seorang pemimpin. Walaupun menderita kekalahan karena kesalahan para sahabat, Nabi tidak membencinya malahan tetap sabar dan membei maaf. Tidak ada seorang sahabatpun yang menginginkan kekalahan itu tetapi karena ada perbuatan yang tidak tepat, makanya kesalahan itu terjadi. Ini mengambarkan bahwa dalam setiap pekerjaan yang diakukan secara bersama, semua orang menginginkan keberhasilan. Namun jika kegagalan yang terjadi maka tidak boleh saling menyalahkan, karena semua pihak telah berusaha semaksimal mungkin.

Dengan memaafkan kesalahan dan tetap sabar adalah sebagai bentuk penyadaran yang halus kepada orang yang berbuat kesalahan. Selanjutnya mereka akan berpikir, ketika meraka salah telah dimaafkan, maka akan timbul semangat baru untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Tetapi jika sebaliknya, meraka dibenci atau ditingalkan, maka tidak ada penyadaran terhadap kesalahan tersebut bahakan akan timbul perpecahan dan permusuhan baru.

Ayat di atas mengisyaratkan perintah untuk memberi maaf dan seterusnya seakan-akan ayat ini berkata: “Sesungguhnya perangaimu wahai Muhammad adalah perangai yang sangat luhur, engkau tidak bersikap keras, tidak juga berhati kasar, engkau pemaaf dan bersedia mendengarkan saran orang lain. Itu semua disebabkan rahmat Allah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah SWT sendiri yang medidikmu sehingga semua factor yang dapat mempengaruhi kepribadianmu dihilangkan-Nya”.(Quraisy Shihab, 2002: 257)

Tidak ada keraguan lagi, setiap langkah Nabi Muhammad selalu ditunjuki oleh Allah SWT. Sikap lemah lembut dan tidak berhati kasar merupakan rahmat Allah kepada orang pilihannya yang nantinya sebagai contoh dan tauladan para ummatnya. Sedangkan kita sebagai umat Nabi Muhammad, diberi petunjuk oleh Allah dalam setiap langkah kita melalui perantaran Rasul-Nya, dengan cara menjadikan Nabi Muhammad sebagai suri taudalan. Ketika mampu menauladani sifat lemah lembut dan pemaaf sebagai pemimpin berarti kita telah mendapat petunjuk Allah. Sekarang petunjuk itu sudah ada, tinggal bagaimana cara kita menggunakannya.

Firman Allah: sekiranya engkau bersikap keras dan kasar.., mengadung makna bahwa nabi Muhammad bukanlah orang yang berhati kasar. Ini dimaknai dengan kata لو yang diterjemahkan dengan sekiranya. Kata ini digunakan untuk sesuatu yang bersyarat tetapi syarat itu tidak ada dimiliki oleh Rasulullah. Jika demikian, ketika ayat menyatakan sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, maka itu berarti sikap keras dan berhati kasar tidak ada wujudnya, maka tentu saja, tentulah mereka menjauh diri dari sekelilingmu, tidak akan pernah terjadi.(Quraisy Shihab, 2002: 257)

Sikap keras dan kasar itu telah dihilangkan Allah dari kepribadian Nabi. Karena jika sifat itu ada pada diri Rasulullah, maka orang-orang yang ada disekitar Rasulullah, apakah yang sudah masuk islam atau belum akan meninggalkan islam. Pada prinsipnya manusia mendambakan kelembutan. Jadi sikap lemah lembut Nabi menjadi factor yang sangat menentukan dalam keberhasilan dakwah Rasulullah.

Kata-kata berlaku keras lagi berhati kasar menggambarkan sisi dalam dan luar manusia berlaku kasar merupakan bentuk luar dan berhati kasar adalah sisi dalam kehidupan manusia. Kedua sisi itu dihilangkan dari Rasululah karena memang harus dinafikan secara bersamaan. Karena boleh jadi ada berlaku keras tapi hatinya lembut atau hatinya kasar dan sikapnya tidak tahu sopan santun. Yang terbaik adalah mengabngkan sisi luas dalam perilaku yang sopan, kata-kata yag indah, sekaligus hati yang lembut dan penuh kasih sayang. (Quraisy Shihab, 2002: 257)

Hasan al-Bashri mengatkan bahwa sikap lemah lembut dan tidak kasar yang dimiliki oleh nabi itu merupakan akhlak Rasulullah yang dengan akhlak itu Allah mengutusnya. Makna ayat tersebut dapat dipahami bahwa jika Nabi mengucapkan kata-kata kasar dan berhati kasar, maka mereka aka menjauh dan meninggalkan Rasulullah, tetapi Allah menyatukan hati mereka. Allah menjadikan Nabi bersifat lemah lembut untuk menarik hati mereka untuk masuk islam. Sebagimana yang diriwayatka oleh ‘Abdullh ibn ‘Amr bahwa ia mendapati sifat Rasulullah dalam kitab-kitab terdahulu yaitu tidak bertutur kata kasar dan tidak juga berhati keras. Tidak gemar berteriak-teriak di pasar, juga tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, sebaliknya Nabi memaafkan.(Ibn Katsir, 2008: 338)

Sifat kepemimipan Nabi Muhammmad SAW yang telah dikemukakan di atas merupakan akhlak seorang pimpinan. Pemimpin yang sejati adalah orang yang melaksanakan amanahnya dalam rangka mentaati Allah dan Rasul-Nya. Sifat yang telah dicontohkan oleh Rasulullah adalah kunci kesuksesan dalam menjaga keharmonisan antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya.

Salah satu penekanan pokok ayat ini adalah musyawarah. Kata musyawarah sendiri terambil dari kata (شور) syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Madu bukan hanya manis, tetapi adalah obat bagi banyak penyakit, segaligus sebagai sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah yang yang dicari oleh siapapun dan dimanapun. Madu itu sendiri dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah adala lebah, makhluk yang sangat disiplin, kerjasamanya mengagumkan, makannya sari kembang, hasilnya madu, di manapun ia hinggap tidak pernah merusak, tidak pernah menggangu kecuali jika diganggu, sengatannya pun obat. Itulah permusyawaratan dan demikian pula yang yang melakukannya, tidak heran jika nabi menyamakan lebah dengan orang mukmin. (Quraisy Shihab, 2002: 258)

Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala hal yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain ( termasuk pendapat). Pada dasarnya kata musyawarah hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna di atas.

Pemahaman lain yang dapat diambil dari pengertian syura, mengambil madu lebah adalah harus diingat bahwa tidak semua orang bisa dan sangup untuk mengambil madu lebah dari sarangya. Hanya orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan dan mengetahui cara mengambilnya tanpa disengat oleh lebah tersebut. Hal ini mengisyaratkan tidak semua orang layak untuk dijadikan pemimpin umat, hanya orang yang mempunyai kecakapan tertentu saja yang pantas dijadikan pemimpin.

Musyawarah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah antara lain menjelang perang Uhud, Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat untuk memutuskan apakah akan tetap bertahan di madinah atau pergi menyonsong musuh. Demikian juga pada perang Khandaq, Rasulullah mengajak para sahabat untuk memusyawarahkan tawanan perdamaian kepada al-Ahzab, dengan memberikan sepertiga hasil buah kota Madinah pada tahun itu. Namun hal itu ditentang oleh Sa’ad ibn Mu’azd dan Sa’ad ibn ‘Ubadah. Rasulullah pun akhirnya membatalkan perjanjian tersebut.(Ibn Katsir, 2008: 340)

Prinsip musyawaah yang harus dipakai, pertama,berlaku lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras. Seorang yang melakukan musywarah apalagi berada dalam posisi pemimpin yang pertama yang harus ia sadari adalah tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan bertebaran pergi.

Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Maaf secara harfiah berarti menghapus. Memaafka adalah mengahapuskan bekas luka dihati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu karena tiada musyawarah tanpa ada pihak lain. Sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati. Di sisi lain, yang bermusyawarah harus menyiapkn mentalnya untuk selalu memberi maaf, karena boleh jadi ketika melakukan musyawarah terjadi perbedan pendapat atau keluar dari pihak lain kalimat atau pendapat yang menyinggung dan jika mampir ke hati akan mengeruhkan pikiran, bahkan menyebakan musyawarah bisa menjadi pertengkaran. (Quraisy Shihab,259)

Manfaat musyawarah antara lain:

1. Melalui musyawarah dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan dan keikhlasan terhadap kemashlahatan umum.

2. Kemampuan akal manusia bertingkat-tingkat dan jalan berpikirnya pun berbeda-beda. Sebab mungkin ada diantara mereka mempunai kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain , bahkan pembesar sekalipun.

3. Semua pendapat dalam musyawarah diuji kemampuannya, setelah itu dipilh yang paling baik.

4. Di dalam musyawarah akan tampak bertautnya hati untuk menyukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati.(a-Maraghi, 1993: 197)

Pesan lain dari ayat di atas, ketika musyawarah telah selesai dan telah diambil kebulatan tekad, maka langkah selanjutnya adalah berserah diri pada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri.(Quraisy Shihab, 2002: 261). Berserah diri dalam artian melaksanakan dengan sepenuh hati hasi musyawarah terebut dan setelah berusaha semaksimal mungkin serta sesui dengan prinsip-prinsip dan aturan yang ada dalam rangka mentaati Allah. Jika hasilnya sesuai dengan yang diharapkan berarti mendapat rahmat dari Allah dan jika gagal, kegagalan itu adalah ujian dari Allah.

Surat asy-Syura Ayat 38

Artinya : dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.

Ayat di atas bagaikan mengatakan, ada kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi orang-orang yang benar-benar memenuhi seruan Tuhan mereka dan mereka melaksanakan shalat secara berkesinabungan dan sempurna, yaitu sesui dengan rukun dan syaratnya serta khusu’ kepada Allah dan semua urusan yang berkaitan dengan kemasyarakatan mereka adalah musyawarah antar mereka yakni mereka memutuskan mealui musyawarah, tidak ada diantara mereka yang bersifat otoriter dengan memaksakan pendapat, dan disamping itu mereka juga dari sebagian rezki yang Kami anugrahkan pada mereka baik harta maupun selainnya, mereka senatiasa nafkahkan secara tulus dan berkesinambungan baik nafkah wajib maupun sunah.(Quraish Shihab, 2002: 511).

Kata syura, sebagaimana yang dijelaskan di atas tadi, bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memperhadapkan satu pendapat dengan pendapat lain. Sedangkan kata (أمرهم) urusan mereka, menunjukkan bahwa hal-hal yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan urusan mereka dan berada dalam wewenang mereka. Karena masalah ibadah mahdah yang sepenuhnya menjadi Allah tidak dapat mereka musyawarahkan. Di sisi lain, mereka yang tidak terlibat dalam urusan itu, tidak punya wewenang tidak perlu ikut musyawarah kecuali diajak oleh yang berwenang karena mungkin saja yang dimusyawarahkan itu bersifat rahasia.(Quraish Shihab, 2002: 512)

Diriwayatkan dari al-Hasan,”Tidak ada satu kaum yang bermusyawarah kecuali mendapat petunjuk pada urusan mereka yang paling baik”. Dan Ibn Arabi mengatkan pula, “Musyawarah itu melembutkan hati orang yang banyak, mengasah otak dan menjadi jalan menuju kebenaran. Dan tidak ada satu pun yang bermusyawarah kecuali mendapat petunjuk.(al-Maraghi, 1993: 94)

al-Quran tidak menjelaskan bagaimana bentuk Syura yang diajurkan. Hal ini memberikan kesempatan pada setiap masyarakat untuk menyusun syura sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Karena turun ayat ini masih dalam periode Mekkah sebelum nabi membangun system pemerintahan dan Negara yang megikat di Madinah.

Surat an-Nisa’ Ayat 135

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(an-Nisa’: 135)

Ibnu Jarir meriwayatkan dari as-Suddy tentang sebab turunnya ayat ini, bahwa seorang kaya dan fakir mengadukan persengketaannya kepada Rasulullah. Hati beliau cenderung kepada orang fakir dan berpendapat bahwa orang fakir tersebut tidak berbuat zalim terhadap orang kaya. Allah tidak menghendaki tindakan nabi seperti itu. Allah menghendaki agar Rasulullah menegakkan keadilan terhadap orang kaya dan fakir.(al-Maraghi, 1993: 302)

Menilai seseorang tidak bisa hanya dari zahirnya saja. Kasus di atas menyiratkan bhawa tidak ada jaminan bahwa orang yang fakir tidaka akan menzalimi orang kaya. Karena biasanya orang kaya yang sering menzalimi orang fakir. Namun hal itu bertentangan dengan keadilan. Karena keadilan tdak pernah melihat kaya atau fakir tetapi hanya berdasarkan salah dan benar. Maka seorang pemimpin harus berhati-hati terhadap penampilan dan gaya seseorang supaya tidak salah dalam memtuskan perkara. Zahir seseorang bisa saja dihiasi dengan kebaikan tetapi kebenaran tidak akan tertutupi.

Allah memerintahkan pada hamba-Nya yang beriman agar mereka senantiasa menegakkan keadilan, tidak condong ke kiri dan ke kanan, tidak lemah karena celaan orang yang mencela, dan tidak dipalingkan oleh siapapun.

Menjadi saksi karena Allah yakni, hendaknya menunaikan semata-mata mengharapkan wajah Allah. Maka ketika itu kesaksian itu akan menjadi benar, adil dan hak serta tidak mengandung perubahan, penggantian maupun penyembunyian. menjadi saksi karena Allah harus dilakukan walaupun terhadap diri sendiri, walaupun itu merugikan diri sendiri, karena Allah akan menjadikan kelapangan dan jalan keluar dari setiap kesempitan bagi orang-orang yang taat kepada-Nya.(Ibn Katsir, 2008: 691)

Dalam menegakkan keadilan dan memberikan persaksian harus selalu benar dan jujur. Dalam hal ini, kebenaran hanya diukur dengan kebenaran di sisi Allah, tidak ada yang haq selain Allah. Tidak ada dispensasi untuk diri sendiri, orang tua, karib kerabat atau keompok dan golongan unutk tidak berbuat adil. Apalagi menjadikan hawa nafsu sebagai ukuran keadilan. Jadi tidak ada celah untuk berbuat tidak adil dalam agama islam.

Memberikan persaksian harus secara benar meskipun hal itu berhubungan dengan orang tua atau kerabat yang dapat membahayakan mereka. Karena kebenaran adalah hakim bagi setiap orang dan hakim harus didahulukan dari siapapun. Dan juga tidak membela karena kekayaan seseorang dan tidak juga karena kasihan pada yang miskin.karena Allah adalah pelindung mereka. Selanjutnya dilarang bersikap tidak adil karena hawa nafsu, fanatic golongan atau ada rasa benci pada seseorang.(Ibn Katsir, 2008: 691)

Perintah keadilan dapat dikemukakan dengan mengtakan (إعدلوا) I’dilu yang artinya berlaku adillah. Lebih tegas dari kalimat tersebut mengunkan kata (كون مقسطين) jadilah orang-oran yang adil, dan yang lebih tegas dari ini (كون قا ئمين بالقسط) jadilah penegak-penegak keadilan. Dan puncaknya adalah kata di atas, yang maksudnya hendaklah secara sempurna dan penuh perhatian kamu jadikan penegak keadilan menjadi sifat diri kamu dan kamu laksanakan dengan penuh ketelitian sehingga tercermin dalam seluruh aktivitas lahir dan batinmu. (Quraisy Shihab, 2002: 616).

Firman Allah (فلا تتبعوا هوى أن تعدلوا ) janganlah kamu mengikuit hawa nafsumu karena ingin menyimpang dari kebenaran, dapat juga berarti janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena enggan berlaku adil. Kata (خبير) digunakan untuk siapa yang mendalami masalah. Menurut Imam al-Ghazali, al-Khabir adalah sesuatu yang tidak tersembunyi bagi Allah.(Quraisy Shihab, 2002: 117)

Kesimpulan

1. Ulil amri adalah setiap orang yang diberikan amanah untuk memimpin suatu kelompok atau lembaga yang dipercaya mampu mengemban tugas tersebut demi kemashlahatan ummat. Dan tidak lagi dibatasi antara masalah agama atau dunia.

2. Seorang pemimpin harus bersikap lemah lembut dan tidak berlaku kasar dalam memimpin. Karena kelembutan adalah dambaan setiap manusia dan sebaliknya sikap kasar menyebabkan orang lain meninggalkan kita.

3. Sikap pemaaf dan sabar harus ditanamkan dalam diri seorang pemimpin. Karena setiap manusia mempunyai potensi untuk melakukan kesalahan. Pemimpin yang mampu bersabar untuk memaafkan orang yang bersalah menunjukkan kelembutan hatinya sebagaimana Rasulullah memaafkan para sahabat yang melakukan kesalahan dalam perang Uhud.

4. Musyawarah adalah media untuk mengeluarkan seluruh ide dan pikiran cemerlang menuju kemashlahatan ummat. Musyawarah diibaratkan mengambil madu lebah dari sarangnya dan hanya orang tertentu (pemimpin) yang mampu melakukannya. Dan kemudian memberikan madu itu kepada setiap orang (peserta musyawarah) sehinga semuanya dapat menikmati manfaat madu terebut.

5. Dalam menegakkan keadilan dan persaksian harus selalu menjunjung tingi kebenaran yang datang dari Allah. Islam tidak memberikan celah untuk berbuat tidak adil walaupun itu berhubungan dengan diri sendiri, orang tua, karib kerabat atau lainnya.

DAFTAR PUSAKA

al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi.(diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly)PT. Karya Putra Thoha; Semarang, 1993. Jilid 2 dan 6

al-Mubarakfuri, Syafiyurrahman.Tafsir Ibn Katsir.(diterjemahan oleh Abu Hasan al-Atsari)Pustaka Ibnu Katsir; Bogor. 2008. Jilid 2

Hosen, Nadirsyah. Makna Ulil Amri dalam Kitab Tafsir. http://media.isnet.org/isnet/ Nadirsyah/ulilamri.html

Shihab, Quarisy. Tafsir al-Mishbah.Lentera Hati; 2002. Jakarta. Jilid 3 dan 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar