Senin, 06 April 2009

Pengalaman Beragama

  1. Abstrak

Psikologi Agama sebagai sebuah disiplin ilmu secara umum mempelajari kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran, pe4rasaan dan kehendak yang kemudian dilihat dari sudut pandang agama. Psikologi Agama sebagai cabang dari disiplin ilmu psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing.(Jalaluddin,2003: 15)

Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi pribadi.(Zakiah Darajat, 1979: 23)

Defenisi di atas memberikan gambaran bahwa yang menjadi kajian utama dalam psikologi agama adalah gejala kejiwaan yang dilihat dan digali dari seseorang yang dipengaruhi oleh keyakinan dan praktek keagamaan.

Psikologi agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai tehnik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti itu baik sekasrang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan ketidak-adaan Tuhan, karena tidak ada tehnik empiris untuk membuktikan adanya gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa. Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiria tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia. Psikologi dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan , tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan , pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan

  1. Pengalaman Beragama

Pengalaman bergama yang paling berkesan dalam kehidupan responden adalah puasa. Menurutnya, puasa itu memepunyai fungsi kesehatan. Contohnya, ketiak seseorang berpuasa maka makannya teratur yaitu pada waktu sahur dan berbuka saja. Hal ini sangat berbeda dengan keadaan di luar puasa, di mana makan dan minum tidak teratur dan menutut pengakuan responden ini terbukti.

Selanjutnya shalat, responden merasakan bahwa dalam gerak-gerik shalat ada manfaat olahraga. Karena mengerakkan tubuh secara teratur dan berulang kali dan itu dilaksanakan paling kurang lima kali sehari semalam.

Ketika lebaran juga memberikan makna tersendiri. Responden bisa bertemu dengan kerabat-kerabat yang jauh. Silarurrahmi semakin terjalin dengan sesama muslim dan merasakan kebahagian saat berkumpul kembali dengan keluarga terdekat yang pertemuan itu hanya sekali setahun.

Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa responden mampu memaknai setiap ajaran-ajaran agama yang dilakukannya. Ibadah tersebut tidak hanya bersifat vertikal (hablu minallah), tetapi juga untuk saling menjalin hubungan horizontal sesama makhluk Tuhan (hablu minannas). Ibadah juga mengandung manfaat lain selain nilai-nilai spritualitas, contoh kesehatan dalam puasa dan olahraga dalam shalat.

Ketika seseorang mampu memaknai dan memahami setiap pelaksanaan ajaran keagamaan, maka agama mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam kehidupannya. Dia tidak akan bisa lepas dari agama yang diyakininya karena agama tersebut bersifat universal.

  1. Motivasi Beragama

Pertama kali responden mengetahui tentang adanya agama, ketika masih di Taman Kanak-kanak (TK). Persepsi awalnya terhadap agama, agama berisikan perintah-perintah yang harus diloaksanakan. Setelah duduk di sekilah dasar (SD) responden baru mulai melaksanakan perintah-perinrtah agama seperti shalat dan puasa. Pelaksanaan ajaran tersebut dilandasi ketakutan terhadap orang tua.

Motivasi agama responden banyak dipengaruhi oleh faktor sosial. Faktor sosial yang dimaksud adalah pengaruh sosial terhadap keyakinan agama seseorang. Telah terjadi interaksi sosial sejak manusia lahir ke dunia mulai dari lingkungan keluarga, sekiolah dan masyarakat secara umum. Interaksi sosial yang memepengarushi keyakinan dan perilaku keagamaan individu diantaranya adalah sugesti dan imitasi (Hayati Nizar, 2003: 43)

Robetr Thoules menempatkan faktor sosial pada tingkatan yang pertama. Lebih lanjut Thoules menjelaskan bahwa faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembanagn sikap keagamaan itu: pendidikan dari orang tua, tardisi-tradisi sosial dan tekanan tekanan lingkungan sosial untuk menyesuai diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkuna itu.(Robert Thoules, 1992: 29)

Hal ini dapat dibuktikan dari pelaksanaan ajaran agama oleh responden. Responden melaksanakan ajaran agama karena ada perintah dari orang tua. Keluraga merupakan lingkunagn sosial yang pertama dalam kehidupan seseorang. Dalam keluarga sangat memepengaruhi perkembangan jiwa keagaman responden.

  1. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Keagamaan

Pendidikan yang ditempuh oleh responden, setelah tamat sekolah dasar (SD), melanjutkan pendidikan tingkat pertama pada sekolah agama yaitu MTsN. Pada tingkat ini responden mulai mengetahui dasar-dasar pelaksanaan ajaran agama. Kemudian dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu MAN. Dalam tahap pendidikan selanjutnya, responden mulai memahami agama dan meningkatkan ketaatan dalam menjalankan agama yang diyakininya.

Lembaga pendidikan akan mempengaruhi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun besar kecilnya pengaruh teersebut sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama lebih menitik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.

Karena lembaga pendidikan yang ditempuh oleh responden adalah lembaga pendidikan agama, maka tidak terlalu sulit untuk menanamkan nilai-nilai keagaman. Sehingga pendidikan mampu secara maksimal mempengaruhi faktor perilaku keagamaan. Dengan adanya peningkatan ketaatan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi membuktikan pengaruh besar lembaga pendidikan agama yang formal yang dilaluinya.

Perhatian penuh keluarga dan persepsi masyarakat terhadap responden sebagi seorang yang lebih mengetahui agama karena sekolah disekolah agama, membantu responden untuk mematangkan jiwa keagamaannya. Kematangan jiwa agama juga tidak terlepas dari faktor usia. Dengan mencapai usia dewasa dan dibantu oleh faktor sosial membuat responden lebih memahami makna agamanya.

Yang terakhir, secara umum responden berpendapat bahwa agama berfungsi sebagai alat untuk mengatur kehidupan. Aturan dipakai ketika bergam kepentingan yang harus dilaksanakan dalam kehidupan. Supaya semua kepentinga itu dapat diwujudkan, maka dibutuhkan alat untuk mengaturnya. Agamalah menurut responden yang paling tepat untuk mengaturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar